Parpol Pemula vs
Pemilih Pemula
Kalau dengan asas banding, tanding,
sanding, agaknya ada persamaan sekaligus perbedaan yang mendasar. Pada derajat,
skala tertentu bisa masuk momén kontradiktif.
Parpol pemula berharap-harap cemas.
Pemilih pemula cemas berharap-harap. Kalau memakai metode dikawinsilangkan,
akan menghasilkan rasa yang tanpa rasa.
Demokrasi yang kita tampilkan, lebih
menonjolkan sisi kisah sukses. Diformat sebagai rekam jejak, nilai jual atau
kinerja penguasa pada periode ybs. Sisi kelam atau angka merah, tak pernah
ditayangkan. Hanya sebagai bahas kajian akademis.
Rakyat yang buta politik sudah tidak
bisa diintimidasi. Modus hoaks atau berita bohong dari sumber resmi,
menjadi senjata makan tuan, bumerang. Modus apa lagi yang akan dipakai.
Apa hubungannya dengan kepemulaan
parpol maupun pemilih.
Pemilih pemula 2019 ataupun pemilih
pemula di era pasca reformasi 21 Mei 1998, tentu sudah kenyang asam garam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Sikap apatis, nada antipati, ujar
alergi, sinyal apriori pemilih pemula merupakan kilas balik, refleksi dari tindak
tutur, tingkah laku penguasa. Ditarik mundur, ujung-ujungnya ketemu fakta bahwa
parpol juara umum 2914 tak siap menang. Kendati oknum ketum dengan hak
prerogatifnya ahli menangis. Biar dikira peduli nasib bangsa.
Paling runyam, juga yang dirasakan
rakyat papan bawah, adanya parpol pemula yang hanya kedok atau perpanjangan
kaki dan tangan. Sang oknum ketum ahli mengiba-hiba. Merasa bisa mengubah nasib
bangsa jika sudah jadi presiden. Komplit plit derita anak bangsa pribumi di éra
mégatéga.
Nasib penguasa bukan sekedar bak
mahkota di ujung tanduk, tetapi memang siap disepak, didepak, didupak
kesana-kemari dengan bebas aktif. Tanpa hak protes. Nèk ora manut, péngin dikeplak opo
dijitak. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar