Halaman

Jumat, 16 Maret 2018

politik tidak pandang gender, strata, jiwa



politik tidak pandang gender, strata, jiwa

Bangsa Indonesia pantas besar kepala, busungkan dada, acungkan tinju, plus tepuk jidat,  karena ééé karena, sebagai satu-satunya negara yang memiliki, mempunyai dasar negara, ideologi nasional yang bernama Pancasila.

Perjuangan merumuskan sila-sila di Pancasila, menunjukkan betapa untuk menyusun dasar negara, ideologi nasional bukan perkara mudah. Pamrih para pendiri bangsa, fokus untuk menyiapkan Indonesia merdeka.

Ikatan batin, kesatuan jiwa, kesamaan moral melandasi semangat kebersamaan. Untuk merdeka dan mempertahankan Proklamasi.

Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa, negara dan pemerintah masih dihadapkan pada masalah yang menyedot energi. Dekade pertama, tepatnya sampai Pemilu 1955, dampak nyata, efek domino menupolitik Nasakom, menjadi sumber segala sumber pertikaian, konflik maupun gesekan. Madiun Affair September 1948, puncak klasemennya pada 30 September 1965.

Loncat ke pasca reformasi yang dimulai dari top levelnya, 21 Mei 1998. NKRI secara aktif menjadi penganut pasar bebas dunia. Pasar ideologi lokal Nusantara, mau tak mau, menampung arus masuk ideologi asing. Tidak ada unsur pemaksaan, intimidasi diplomatik, seperti masuk bebasnya budaya asing liwat jalur TIK.

Utang luar negeri yang diformat dengan kemasan bantuan asing. Besaran ULN akan semakin menggiurkan tetapi sekaligus harus mengorbankan harga diri sebagai bangsa. Siap menampung buangan teknologi asing; siap mengolah sisa bahan baku asing yang sudah disortir; siap menerima limpahan SDM asing yang surplus di negerinya,

Tak perlu teori persatuan dan kesatuan. Asal bagaimana hidup bertetangga sampai bagaimana hidup berbangsa, betnegara dengan aliran politik yang berbeda. Memang diperlukan segudang kearifan, bukan basa-basi yang selalu basi. Banyak kiat, jurus untuk bisa menerima kenyataan yang serba beda dengan panjang usus. Mampu menghadapi perbedaan dengan tebal telinga - dari sekian ini yang paling susah adalah menghadapi "kekalahan" dengan tebal muka.

Kekalahan secara politis susah dicerna dengan akal sehat. Apalagi selama berpartai politik sudah menghalalkan segala cara sedemikian sismatis sehingga lupa akan yang telah diperbuat. Lupa akan abang ijoné jaman, kata Pandito Dorna. Wolak-waliking jaman yen édan tetep édan tenanan. Lupa daratan, alpa lautan, linglung udara maupun rekayasa ingatan polisi masih menghantui kaum politikus NKRI. Baik yang jebolan Senayan atau yang tak kesampaian niatnya.

Ketika budaya malu, urat malu, rasa malu, kadar malu nyaris terkikis habis dari haribaan pergaulan di NKRI ini. Namun nun jauh di belakang lubuk hati nurani masih tersisa cilal bakal sumber malu. Gencarnya serbuan berita yang tendensius. Perpaduan ujaran kebencian dengan ujaran kebohongan. Rangkaian, rentetan peristiwa kriminal berselang-seling dengan pertarungan antar elit politik memperebutkan kekuasaan, kekayaan dan kekuatan. Ya itu, berita politik dengan berita kriminal, nyaris tak ada beda.Semua ini, selain menyebabkan kita kebal, menjadikan kita justru bisa melihat kenyataan.  

Semangkin kenyataan itu ditutup-tutupi akan semangkin memperjelas hakikat dan eksistensi kebenaran, yang tak lekang di makan zaman, tak lapuk di kunyah sejarah serta tak layu di siram panas matahari. Tayangan dan tampilan fakta lebih mengarah pada kondisi yang kontradiktif. Orang berdasi boleh tak malu untuk melakukan tipikor, di relung lain orang risi melihat porno ndakdhut dipertontonkan. Otak berfikir, ada berita penyelundupan barang terbongkar - entah melalui darat, laut utawa udara - soalnya arus penyelundupan jelas rutin setiap saat.

Korupsi merupakan prestasi urusan duniawi, karena pelakunya tidak masuk kategori warga negara bodoh, miskin, buta hukum, keterbelakangan mental maupun aspek jiwa bermasalah. Niat korupsi hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan formal, baik di tatanan politik maupun di tataran bisnis. Dari sisi internal kaum hawa, hawa nafsu korupsi dipacu dan dipicu oleh gaya hidup sosialita, gaul kalangan papan atas dan gengsi tidak mau tersaingi. Kebutuhan dasar meningkat demi status, simbul dan merek.

Mengacu pada Indonesia sebagai negara kepulauan maka kepartaipolitikkan terdapat 3 (tiga) bentuk.

Pertama. Perilaku manusia politik dengan segala modusnya, adalah naluriah dan fitrah. Manusia dilahirkan di muka bumi sebagai khalifah. Jika lebih dari 3 (tiga) manusia dan/atau orang, melakukan perjalanan maka harus ditunjuk satu orang sebagai kepala, pimpinan. Semakin besar, semakin banyak pengikut, rombongan, maka perlu dibuat wadah formal, berbadan hukum. Namanya partai politik. Ini cuma ilmu praduga. Soal salah, keliru, atau malah ngawur, yang penting ditulis.

Kedua. Perilaku manusia politik merupakan faktor genetik. Dikenal dengan sebutan anak cucu ideologis. Makanya, ideologi taka da matinya. Mampu hidup di sembarang zaman. Kondisi atau karakter ini memang rawan, riskan, rentan dengan penyakit, penyimpangan, gangguan jiwa politik.

Memang, pelaku tipikor bukan monopoli partai politik, aparat penegak hukum, penyelenggara negara saja. Sudah menjadi hak manusia Indonesia. Andai pelaku tipikor dari pelaku, pemain, pekerja politik dari sebuah partai politik, apapun jabatannya, apapun dalihnya (kebijakan partai dan/atau loyal kepada ketum partai), karena keberadaan mereka sudah disinyalir liwat PP 72/1991 tentang “Pendidikan Luar Biasa”, yaitu terdapat sebutan penyandang tuna laras.

Jika manusia politik tampak akrab, gaul, gayeng dengan lawan politik, maka hormon idiologisnya tidak tumbuh normal. Dalam skala nyata, koalisi parpol sebagai bukti otentik dan orisinil.

Ketiga, atau terakhir. Perilaku manusia politik masih bisa dinormalkan. Diperlukan niat, kemauan, kesadaran, kesabaran ekstra uktuk mau normal. Khususnya sadar normal dalam pasal medis, psikologis, sosial maupun spiritual. Pelakunya harus dinormalkan,  serta tindakannya layak dipidanakan. Tapi mana mungkin. Melanggar HAM. Parpol-nya bisa cuci tangan. Stok masih berlimpah.

Jadi, selama politik tidak mengenal ibu tiri. Kalau anak emas, putera mahkota memang sesuai asas kekuasaan bisa diwariskan. Naudzubillahi min dzalik. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar