politik tidak pandang gender,
strata, jiwa
Bangsa Indonesia pantas
besar kepala, busungkan dada, acungkan tinju, plus tepuk jidat, karena ééé karena, sebagai satu-satunya negara
yang memiliki, mempunyai dasar negara, ideologi nasional yang bernama
Pancasila.
Perjuangan merumuskan sila-sila
di Pancasila, menunjukkan betapa untuk menyusun dasar negara, ideologi nasional
bukan perkara mudah. Pamrih para pendiri bangsa, fokus untuk menyiapkan
Indonesia merdeka.
Ikatan batin, kesatuan
jiwa, kesamaan moral melandasi semangat kebersamaan. Untuk merdeka dan
mempertahankan Proklamasi.
Pasca Proklamasi 17
Agustus 1945, bangsa, negara dan pemerintah masih dihadapkan pada masalah yang
menyedot energi. Dekade pertama, tepatnya sampai Pemilu 1955, dampak nyata,
efek domino menupolitik Nasakom, menjadi sumber segala sumber pertikaian,
konflik maupun gesekan. Madiun Affair September 1948, puncak klasemennya pada
30 September 1965.
Loncat ke pasca
reformasi yang dimulai dari top levelnya, 21 Mei 1998. NKRI secara aktif
menjadi penganut pasar bebas dunia. Pasar ideologi lokal Nusantara, mau tak
mau, menampung arus masuk ideologi asing. Tidak ada unsur pemaksaan, intimidasi
diplomatik, seperti masuk bebasnya budaya asing liwat jalur TIK.
Utang luar negeri yang
diformat dengan kemasan bantuan asing. Besaran ULN akan semakin menggiurkan
tetapi sekaligus harus mengorbankan harga diri sebagai bangsa. Siap menampung
buangan teknologi asing; siap mengolah sisa bahan baku asing yang sudah
disortir; siap menerima limpahan SDM asing yang surplus di negerinya,
Tak perlu teori persatuan
dan kesatuan. Asal bagaimana hidup bertetangga sampai bagaimana hidup berbangsa,
betnegara dengan aliran politik yang berbeda. Memang diperlukan segudang
kearifan, bukan basa-basi yang selalu basi. Banyak kiat, jurus untuk bisa
menerima kenyataan yang serba beda dengan panjang usus. Mampu menghadapi
perbedaan dengan tebal telinga - dari sekian ini yang paling susah adalah
menghadapi "kekalahan" dengan tebal muka.
Kekalahan secara politis
susah dicerna dengan akal sehat. Apalagi selama berpartai politik sudah
menghalalkan segala cara sedemikian sismatis sehingga lupa akan yang telah
diperbuat. Lupa akan abang ijoné jaman, kata Pandito Dorna. Wolak-waliking jaman yen
édan tetep édan tenanan. Lupa daratan, alpa lautan, linglung udara maupun
rekayasa ingatan polisi masih menghantui kaum politikus NKRI. Baik yang jebolan
Senayan atau yang tak kesampaian niatnya.
Ketika budaya malu, urat
malu, rasa malu, kadar malu nyaris terkikis habis dari haribaan pergaulan di
NKRI ini. Namun nun jauh di belakang lubuk hati nurani masih tersisa cilal
bakal sumber malu. Gencarnya serbuan berita yang tendensius. Perpaduan ujaran
kebencian dengan ujaran kebohongan. Rangkaian, rentetan peristiwa kriminal
berselang-seling dengan pertarungan antar elit politik memperebutkan kekuasaan,
kekayaan dan kekuatan. Ya itu, berita politik dengan berita kriminal, nyaris tak
ada beda.Semua ini, selain menyebabkan kita kebal, menjadikan kita justru bisa
melihat kenyataan.
Semangkin kenyataan itu
ditutup-tutupi akan semangkin memperjelas hakikat dan eksistensi kebenaran,
yang tak lekang di makan zaman, tak lapuk di kunyah sejarah serta tak layu di
siram panas matahari. Tayangan dan tampilan fakta lebih mengarah pada kondisi
yang kontradiktif. Orang berdasi boleh tak malu untuk melakukan tipikor, di
relung lain orang risi melihat porno ndakdhut dipertontonkan. Otak berfikir,
ada berita penyelundupan barang terbongkar - entah melalui darat, laut utawa
udara - soalnya arus penyelundupan jelas rutin setiap saat.
Korupsi merupakan
prestasi urusan duniawi, karena pelakunya tidak masuk kategori warga negara
bodoh, miskin, buta hukum, keterbelakangan mental maupun aspek jiwa bermasalah.
Niat korupsi hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan
formal, baik di tatanan politik maupun di tataran bisnis. Dari sisi internal
kaum hawa, hawa nafsu korupsi dipacu dan dipicu oleh gaya hidup sosialita, gaul
kalangan papan atas dan gengsi tidak mau tersaingi. Kebutuhan dasar meningkat
demi status, simbul dan merek.
Mengacu pada Indonesia
sebagai negara kepulauan maka kepartaipolitikkan terdapat 3 (tiga) bentuk.
Pertama. Perilaku manusia
politik dengan segala modusnya, adalah naluriah dan fitrah. Manusia dilahirkan
di muka bumi sebagai khalifah. Jika lebih dari 3 (tiga) manusia dan/atau orang,
melakukan perjalanan maka harus ditunjuk satu orang sebagai kepala, pimpinan. Semakin
besar, semakin banyak pengikut, rombongan, maka perlu dibuat wadah formal,
berbadan hukum. Namanya partai politik. Ini cuma ilmu praduga. Soal salah,
keliru, atau malah ngawur, yang penting ditulis.
Kedua. Perilaku manusia
politik merupakan faktor genetik. Dikenal dengan sebutan anak cucu ideologis. Makanya,
ideologi taka da matinya. Mampu hidup di sembarang zaman. Kondisi atau karakter
ini memang rawan, riskan, rentan dengan penyakit, penyimpangan, gangguan jiwa
politik.
Memang, pelaku tipikor
bukan monopoli partai politik, aparat penegak hukum, penyelenggara negara saja.
Sudah menjadi hak manusia Indonesia. Andai pelaku tipikor dari pelaku, pemain,
pekerja politik dari sebuah partai politik, apapun jabatannya, apapun dalihnya
(kebijakan partai dan/atau loyal kepada ketum partai), karena keberadaan mereka
sudah disinyalir liwat PP 72/1991 tentang “Pendidikan Luar Biasa”, yaitu terdapat
sebutan penyandang tuna laras.
Jika manusia politik
tampak akrab, gaul, gayeng dengan lawan politik,
maka hormon idiologisnya tidak tumbuh normal. Dalam skala nyata, koalisi parpol
sebagai bukti otentik dan orisinil.
Ketiga, atau terakhir. Perilaku
manusia politik masih bisa dinormalkan. Diperlukan niat, kemauan, kesadaran,
kesabaran ekstra uktuk mau normal. Khususnya sadar normal dalam pasal medis,
psikologis, sosial maupun spiritual. Pelakunya harus dinormalkan, serta tindakannya layak dipidanakan. Tapi mana
mungkin. Melanggar HAM. Parpol-nya bisa cuci tangan. Stok masih berlimpah.
Jadi, selama politik tidak mengenal ibu tiri. Kalau anak emas, putera
mahkota memang sesuai asas kekuasaan bisa diwariskan. Naudzubillahi min
dzalik. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar