Halaman

Kamis, 01 Maret 2018

korupsi dan aksi radikalisasi biaya politik



korupsi dan aksi radikalisasi biaya politik

Kesenjangan politik bukan sekedar pada nilai historis atau landasan ideologi antar partai politik,  sebagai faktor pembeda. Bukan sekedar pada siapa promotor, bagaimana rekam jejak para pelaku, pegiat, penggila, petugas partai.

Kesenjangan politik merupakan sisi lain dari  fenomena kesenjangan sosial. Singkat kata, ada oknum manusia dan/atau orang politik yang tinggal di gedong magrong-magrong. Tak sedikit pejuang politik yang inap di gubuk.

Hanya dengan modal nama silsilah keluarga bisa mendapatkan kursi tiban. Tak kurang yang sudah mati-matian, hasilnya biasa-biasa saja. Bukan berarti ada yang daya juangnya biasa-biasa saja, tetapi hasil dan raihannya luar biasa. Nasib politik susah ditebak kemana larinya.

Pengalaman mengatakan, saat kampanye, politisi sipil dengan watak politiknya memposisikan diri dan menampilkan diri sebagai pelayan yang setia. Begitu setelah berkuasa, langsung, otomatis mempraktikkan diri sebagai bandar, penguasa tunggal,  majikan, tuan besar, juragan yang seolah merasa sebagai penentu nasib pemilihnya.

Antara si pelaku, pegiat, penggila, petugas partai dengan bandar politik, investor politik soal syahwat politik nyaris tidak ada bedanya. Mereka sama-sama memikirkan nasibnya pada pesta demokrasi berikutnya. Banyak contoh yang bisa kita saksikan di era Reformasi ini.  Ketika kekuasaan sebagai hak milik keluarga, disitulah telah terjadi pembibitan disintegrasi bangsa. Ketika anak bangsa pribumi tidak menjadi bagian dari negara apalagi pemilik negara ini. Bukan karena merasa tersisih, terpinggirkan, Semakin nyata . . .

Pesta demokrasi, bahkan yang dipraktikkan di negara supermaju, adidaya, tak akan lepas dari biaya politik. Kampanye politik sampai pendekatan ke yang punya hak pilih, pendekatan door to door, pendekatan hati ke hati tak akan lepas dari atau bagian mata rantai biaya politik. Ini baru satu aspek untuk menggoalkan orang sebagai pimpinan daerah, apalagi nasional.

Di Indonesia adalah pilkada dan pilkara (pemilihan kepala negara). Cerita lain namun mengacu hal yang sama yaitu biaya politik pada pemilihan umum legislatif yang serentak mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional bersamaan dengan pil[pres 2019. Biaya politik mulai untuk membeli tiket agar bisa ikut pemilu loketnya khusus hanya ada di partai politik sampai upaya membeli suara pemilih. Ada tarif umum atau tariff khusus untuk sebiah kursi kekuasaan.

Berpolitik sama saja sebagai berdagang. Tidak mau rugi sebagai pasal utama yang wajib dilanggengkan, dimuliakan.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar