korupsi dan aksi radikalisasi biaya politik
Kesenjangan politik
bukan sekedar pada nilai historis atau landasan ideologi antar partai politik, sebagai faktor pembeda. Bukan sekedar pada
siapa promotor, bagaimana rekam jejak para pelaku, pegiat, penggila, petugas
partai.
Kesenjangan politik merupakan
sisi lain dari fenomena kesenjangan sosial.
Singkat kata, ada oknum manusia dan/atau orang politik yang tinggal di gedong
magrong-magrong. Tak sedikit pejuang politik yang inap di gubuk.
Hanya dengan modal nama
silsilah keluarga bisa mendapatkan kursi tiban. Tak kurang yang sudah mati-matian,
hasilnya biasa-biasa saja. Bukan berarti ada yang daya juangnya biasa-biasa
saja, tetapi hasil dan raihannya luar biasa. Nasib politik susah ditebak kemana
larinya.
Pengalaman mengatakan,
saat kampanye, politisi sipil dengan watak politiknya memposisikan diri dan
menampilkan diri sebagai pelayan yang setia. Begitu setelah berkuasa, langsung,
otomatis mempraktikkan diri sebagai bandar, penguasa tunggal, majikan, tuan besar, juragan yang seolah
merasa sebagai penentu nasib pemilihnya.
Antara si pelaku,
pegiat, penggila, petugas partai dengan bandar politik, investor politik soal
syahwat politik nyaris tidak ada bedanya. Mereka sama-sama memikirkan nasibnya
pada pesta demokrasi berikutnya. Banyak contoh yang bisa kita saksikan di era
Reformasi ini. Ketika kekuasaan sebagai
hak milik keluarga, disitulah telah terjadi pembibitan disintegrasi bangsa.
Ketika anak bangsa pribumi tidak menjadi bagian dari negara apalagi pemilik negara
ini. Bukan karena merasa tersisih, terpinggirkan, Semakin nyata . . .
Pesta demokrasi, bahkan yang dipraktikkan di negara supermaju, adidaya, tak
akan lepas dari biaya politik. Kampanye politik sampai pendekatan ke yang punya
hak pilih, pendekatan door to door,
pendekatan hati ke hati tak akan lepas dari atau bagian mata rantai biaya
politik. Ini baru satu aspek untuk menggoalkan orang sebagai pimpinan daerah,
apalagi nasional.
Di Indonesia adalah pilkada dan pilkara (pemilihan kepala negara). Cerita
lain namun mengacu hal yang sama yaitu biaya politik pada pemilihan umum
legislatif yang serentak mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional
bersamaan dengan pil[pres 2019. Biaya politik mulai untuk membeli tiket agar
bisa ikut pemilu – loketnya khusus
hanya ada di partai politik – sampai
upaya membeli suara pemilih. Ada tarif umum atau tariff khusus untuk sebiah
kursi kekuasaan.
Berpolitik sama saja sebagai
berdagang. Tidak mau rugi sebagai pasal utama yang wajib dilanggengkan,
dimuliakan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar