pembaca
lebih cerdas ketimbang penulis
Paling sulit agaknya menyusun buku
ajar, didik. Khususnya untuk belajar membaca. Orang tua sudah bisa memakai alat
bantu belajar huruf dan angka. Dijual di toko buku. Atau sebagai alat peraga, mainan, dijual
abang jual mainan, dekat sekolah.
Zaman ada diktat, menjadi acuan
utama.
Tak salah jika tangung jawab
pendidik ke anak didik, tergantung stratanya. Kalau TK atau prasekolah, guru
bertanggumg jawab 100% atas anak didiknya. Karena usia, masih ada yang
mengompol, mogok, ngambek, harus ditunggu ibunya. Akhirnya, sampai PT, 100%
tanggung jawab, pas jatuh ke dosen sudah tereduksi sehingga tinggal 0%.
Dosen tak kehilangan akal, dengan
otoritas kampus, mahasiswa wajib mencari sumber ilmu, acuan, bahan pustaka dari
berbagai sumber. Tak terkecuali memanfaatkan produk TIK.
Terburu waktu dan keterbatasan ruang,
maka sistem baca cepat menjadi andalan pembaca. Penulis ketiban rezeki. Harus mengkuti
kecerdasan pembaca. Semakin cerdas pembaca, dibutuhkan tulisan yang mudah
dicerna. Sekali baca, pembaca sudah menelan habis. Tidak pakai lama dan tidak
perlu mikir lagi.
Kalimat yang atraktif, dengan
tampulan huruf atau kata yang akrab banget, itulah yang dicari. Pembaca menjadi
remen dan demen.
Semakin cerdas pembaca – yang ditandai
tingkat pendidikan formal – maka akan membutuhkan asupan gizi kata dan/atau
kalimay yang sesuai logika, nalar, akalnya. Jika tak sesuai selera, maka dengan
cepat pembaca menemukan kesalahan telak penulis.
Pembaca yang cerdas tadi, bukan
mengkritisi substansinya, tetapi lebih ke siapa penulisnya. Substansi malah
diabaikan. Apalagi kalau ybs berangkat dari adat dan tata cara buaya
mengutamakan asas sendiko dawuh.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar