Halaman

Kamis, 29 Maret 2018

pembaca lebih cerdas ketimbang penulis


pembaca lebih cerdas ketimbang penulis

Paling sulit agaknya menyusun buku ajar, didik. Khususnya untuk belajar membaca. Orang tua sudah bisa memakai alat bantu belajar huruf dan angka. Dijual di toko buku.  Atau sebagai alat peraga, mainan, dijual abang jual mainan, dekat sekolah.

Zaman ada diktat, menjadi acuan utama.

Tak salah jika tangung jawab pendidik ke anak didik, tergantung stratanya. Kalau TK atau prasekolah, guru bertanggumg jawab 100% atas anak didiknya. Karena usia, masih ada yang mengompol, mogok, ngambek, harus ditunggu ibunya. Akhirnya, sampai PT, 100% tanggung jawab, pas jatuh ke dosen sudah tereduksi sehingga tinggal 0%.

Dosen tak kehilangan akal, dengan otoritas kampus, mahasiswa wajib mencari sumber ilmu, acuan, bahan pustaka dari berbagai sumber. Tak terkecuali memanfaatkan produk TIK.

Terburu waktu dan keterbatasan ruang, maka sistem baca cepat menjadi andalan pembaca. Penulis ketiban rezeki. Harus mengkuti kecerdasan pembaca. Semakin cerdas pembaca, dibutuhkan tulisan yang mudah dicerna. Sekali baca, pembaca sudah menelan habis. Tidak pakai lama dan tidak perlu mikir lagi.

Kalimat yang atraktif, dengan tampulan huruf atau kata yang akrab banget, itulah yang dicari. Pembaca menjadi remen dan demen.

Semakin cerdas pembaca – yang ditandai tingkat pendidikan formal – maka akan membutuhkan asupan gizi kata dan/atau kalimay yang sesuai logika, nalar, akalnya. Jika tak sesuai selera, maka dengan cepat pembaca menemukan kesalahan telak penulis.

Pembaca yang cerdas tadi, bukan mengkritisi substansinya, tetapi lebih ke siapa penulisnya. Substansi malah diabaikan. Apalagi kalau ybs berangkat dari adat dan tata cara buaya mengutamakan asas sendiko dawuh.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar