Halaman

Selasa, 06 Maret 2018

saya sebatas jamaah sewaktu-waktu, bukan 5 waktu



saya sebatas jamaah sewaktu-waktu, bukan 5 waktu

Ahad pertama Maret 2018. Bakda subuh, sembari tunggu ustadz yang dijadwalkan memberikan ilmu agama. Acara diisi oleh ketua DKM dan ketua Yayasan masjid.

Secara bergantian disampaikan hasil kesepakatan rapat di rumah Pembina masjid, yang juga wakil rakyat kota tempat penulis.

Karena umat Islam memandang masjid sebagai bangunan yang harus dimuliakan, memang tak salah maupun tak kurang. Singkat saja, akhirnya malah menjadi biang konflik. Di pihak lain, pihak yang memakmurkan masjid – jabatan resmi – ingin jamaah merasa aman, nyaman.

Saat acara dengar pendapat Jemaah.

Masukan pertama menyoroti soal AD dan ART. Diharapkan jangan kaku. Semua dilakukan demi umat Islam, bukan yang lain. ART bisa ditinjau ulang.

Uneg-uneg kedua lebih memperhatikan nasib jamaah perempuan saat sholat tarawih. Lantai dua khusus kaum perempuan. Mungkin, karena usia diperbolehkan ambil tempat di bawah. Artinya, di emper, halaman masjid. Akhirnya, banyak ibu-ibu yang solidaritas.

Biasanya, kalau sudah ada yang bicara, yang lain terpancing. Saya memanfaatkan waktu berikutnya. Saya bilang, komen saya dengan hak hanya sebatas jamaah. Bukan jamaah 5 waktu. Tepatnya, kapasitas hanya sebagai jamaah sewaktu-waktu. Tidak bisa “dihitung” sehari berapa kali ke masjid berjamaah.

Masukan saya sederhana saja. Ketua DKM sebaiknya dipilih dari, oleh, untuk jamaah. Bukan hasil penjukkan pembesar lingkungan.

Selebihnya masukan dari jamaah seberang. Maksudnya satu kompleks tapi beda RW. Atau dari warga sekitar kompleks.

Ternyata, justru jamaah 5 waktu lebih banyak yang ambil sikap sebagai pendengar. Acara beleum selesai, waktu menujukkan pukul 6 am. Sebagian jamaah mulai menegakkan sholat isyra’.

Karena makanan ringan dan teh hangat sudah sedia di emper masjid. Acara selesai. Lanjut bincang di luar.

Rasanya, jamaah yang selama ini vokal, saat silaturahmi tadi, tampak bungkam. Takut salah omong. Bukan juga. Karena pakai model obrolan warung kopi. Dia bicara, orang mendengarkan. Seolah menyimak, padahal karena satu lokasi duduk. Di emper masjid, masih saja ada jamaah yang baru bisa sumbang saran.

Nyaris lupa, saat acara di dalam masjid, tampaknya jamaah kaum perempuan seperti membuat forum diskusi sendiri. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar