Yang Kantongi Uang
Logam 100 dan 200 Ternyata
Keberadaan uang logam, sepertinya nyaris tak berarti. Bahkan
ditilik dari bahannya. Mata jeli pemulung tak melirik jika di jalan berserak. Sekilonya
laku berapa. Beda nasib dengan gelas plastik. Pemulung main gancu, jika lihat bondotan
di bak sampah. Berantakan bukan urusannya.
Secara nominal, uang logam sebagai mata uang, lebih
awet dibanding uang kertas. Tidak juga. Jarang yang simpan uang logam di
dompet. Khususnya, bareng dengan KTP, SIM, uang plastik. Kecuali ibu rumga,
untuk belanja.
Uang logam 500 Rp, sudah jarang diberikan ke pengamen.
Mungkin hanya p Ogah yang masih mau terima dan berterima kasih. Karena banyaknya
moda angkutan yang membutuhkan jasanya. Seberapapun, kalau sehari cukup
berarti. Tinggal bagi rata atau sesuai jabatan.
Uang logam dikenal sejak zaman pra-Kemerdekaan. Utamanya
sebagai alat kerokan. Modal uang logam, minyak boreh. Punggung menjadi sasaran
utama, untuk semua jenis penyakit rakyat. Kecuali penyakit miskin.
Kasir di toko modern, siap uang logam. Sebagai pengembalian,
yang digit terakhir ratusan rupiah. Zaman dulu, uang kembalian diganti permen. Permen
klas orang melayat. Kalau uang masuk tekor, ditanggung bersama sesama kasir.
Alangkah bijak, jika konsumen, pelanggan, pembeli siap
uang logam. Selain mengurangi beban kantong, transaksi lancar. Antrian, lancar.
Tidak ada pihak yang dirugikan, walau seratus rupiah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar