Halaman

Rabu, 28 Maret 2018

mengacu dan berkaca pada tulisan sendiri


mengacu dan berkaca pada tulisan sendiri

Hakikat “bukti tertulis” sudah saya rasakan kebenarannya, manfaatnya. Beda makna dengan yang dimaksud oleh hukum dan peradilan. Kudapat malah secata tak sengaja. Suntuk mau menulis, agak terganggu dengan substansi. Takut kalau sudah ada tulisan yang lebih cerdas.

Hidup ini memang sekali. Tak akan berulang. Namun selagi masih merasa ada waktu untuk memperbaiki masa lalu – sudah tak mungkin – minimal jangan mengulangan kesalahan dan dosa yang sama. Butuh pengawasan. Justru inilah mengapa kita acap mengabaikan ada yang Maha Mengetahui.

Niat sebagai dasar moral untuk bertindak, action. Ditindaklanjuti dengan ucap basmalaah, langsung melangkah. Manusia wajib berusaha, berupaya, berikhtiar. Peras keringat, cuci otak. Sampai mati betulan. Soal hasil akhir, raihan, perolehan, menjadi hak prerogatif Allah swt.

Abaikan komen yang bak “anjing menggonggong”. Menulis hanya untuk menulis. Soal tidak ada yang baca, tetaplah menulis. Yakin, masih ada ratusan juta penduduk Indonesia yang tidak buta huruf.

Kalau berawal dari niat, atau bahkan mau dakwah liwat tulisan, mantapkan diri. Perbanyak baca buku agama Islam. Ikuti tausyiah. Karena dengan mendengar, akan lebih ‘masuk’ disbanding membaca.

Asah keterampilan tangan dengan dialog, diskusi, debat. Kalau ambil peran sebagai pendengar yang bijak, siap rekam di hati. Jadikan hati in lapang, siap meneripa asupan gizi rohani.

Berkat tekonologi. Memanfaatkan internet untuk jelajah dan cari topik, tema tertentu. Uniknya, malah terkadang menemukan tulisan sendiri. Bangganya, kalau ternyata di tayangkan di laman pihak lain. Wajar, kalau olah kata ditayangkan, ditampilkan di blogspot pribadi.

Bersyukur, masih berkesempatan memperbaiki kekurangan pada tulisan yang lalu. Allah swt masih memberi “peluang” untuk memperbaiki tulisan, yang mana mungkin  si pembaca malah bertambah bego. Dosa akibat tulisan menjadikan orang lain mendapat sesuatu yang salah.

Kata ustadz, kalau membaca untuk cari ilmu agama secara otodidak, jangan hanya ke satu guru. Maksudnya, jangan hanya mengacu ke satu penulis. Soal ternyata tulisan saya tampak lebih cerdas. Alhamdulillah. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar