Halaman

Minggu, 11 Maret 2018

Tersandung Kasus Sanjung



Tersandung Kasus Sanjung

Masihkah ingat kawan akan trilogi evolusi mukiyo, sengit ndulit vs gething nyanding vs poyok mondok. Berkembang atau bertambah dengan ngenyèk ngamèk.  Agaknya, justru yang berkembang dan banyak pemakainya maupun pemakaiannya adalah langgam tulung  menthung.

Hasil kajian akademis tentang semua fakta dan realita di atas, artinya modus tulung  menthung, malah menjadi lagu wajib antar penyelenggara negara. Bukan sebagai hal yang aib, tabu atau melanggar norma.

Hasil dari survei tanpa survei, survei berbayar, survei dengan metoda hitung mundur  malah memperkuat sinyalemen bahwa semua itu merupakan efek domino. Modal dasar, saham utama, andil andalan cuma ketidaksiapan menjadi juara umum laga kandang pesta demokrasi 2014. Kehidupan berbangsa dan bernegara disibuki oleh sikap saling tenggang rasa, toleransi, éwuh pakéwuh.

Tak terkait, terikat dengan adab tepo sliro. Condong ke semangat sendiko dawuh. Hati nurani diminimkan. Rasa keagamaan, keberagamaan diminimalisir untuk menjaga suasana kebatinan antar pelaku.

Rasanya semua bahasan di atas salah berat. Kejadian sesungguhnya belum dapat disimpulkan. Karena masih proses dan segala kemungkinan bisa terjadi. Tidak ada kecenderungan untuk berakhir sebelum babak akhir.

Tidak sekedar gali lubang urug lubang. Politik tambal sulam atasi kebocoran uang negara menjadikan utang luar negeri semakin mencekik leher generasi pewaris masa depan. Semua cadangan kandungan deposit ideologi Indonesia seolah tak akan habis, walau diserap dan diperas, dikuras dengan rakus oleh ratusan partai politik.

Jargon politik yang sarat dengan makna/simbol nasionalisme, heroik, pancasilais, Indonesia banget bisa membuat gentar hati musuh. Membuat keder lawan, seteru atau pihak yang menganggap enteng, ringan Indonesia. Dipandang sebelah mata akibat hanya bisa mendayagunakan kandungan ideologi lokal dan/atau nasional. Pertambahan alami, peremajaan alami, proses daur ulang akibat dikurasnya sumber daya ideologi, walau dilakukan tiap hari,  malah semakin melimpah.

Agar jangan sampai langkah politis kelihatan aslinya, memang sudah hukum timbal baliknya, nyaris kawanan loyalis menampakkan karakter di atas pola ABS (asal bapak senang). Sepertinya loyal padahal sudah siap menjegal, menjagal. Menunggu waktu apes, hari sial atau lengahnya. Bak pesepak bola yang saling incar kaki lawan. bukan fokus ke bola.

Jadi, selagi politik itu bundar. Hati-hati dengan eksistensi dan jati diri kaki. Jaga wibawanya sampai peluit panjang wasit berbunyi. Asal jangan sampai lempar handuk putih. Karena mau ganti pemain antar waktu, sudah kehabisan amunisi. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar