Tersandung Kasus Sanjung
Masihkah ingat kawan akan trilogi
evolusi mukiyo, sengit ndulit vs gething nyanding vs poyok mondok. Berkembang atau bertambah dengan ngenyèk ngamèk. Agaknya, justru yang berkembang dan banyak pemakainya maupun
pemakaiannya adalah langgam tulung menthung.
Hasil kajian akademis tentang semua fakta
dan realita di atas, artinya modus tulung menthung, malah menjadi lagu
wajib antar penyelenggara negara. Bukan sebagai hal yang aib, tabu atau
melanggar norma.
Hasil dari survei tanpa
survei, survei berbayar, survei dengan metoda hitung mundur malah memperkuat sinyalemen bahwa semua itu
merupakan efek domino. Modal dasar, saham utama, andil andalan cuma
ketidaksiapan menjadi juara umum laga kandang pesta demokrasi 2014. Kehidupan berbangsa
dan bernegara disibuki oleh sikap saling tenggang rasa, toleransi, éwuh pakéwuh.
Tak terkait, terikat dengan adab tepo sliro. Condong ke semangat sendiko dawuh. Hati nurani
diminimkan. Rasa keagamaan, keberagamaan diminimalisir untuk menjaga suasana
kebatinan antar pelaku.
Rasanya semua bahasan di atas salah
berat. Kejadian sesungguhnya belum dapat disimpulkan. Karena masih proses dan
segala kemungkinan bisa terjadi. Tidak ada kecenderungan untuk berakhir sebelum
babak akhir.
Tidak sekedar gali lubang urug
lubang. Politik tambal sulam atasi kebocoran uang negara menjadikan utang luar
negeri semakin mencekik leher generasi pewaris masa depan. Semua cadangan kandungan
deposit ideologi Indonesia seolah tak akan habis, walau diserap dan diperas,
dikuras dengan rakus oleh ratusan partai politik.
Jargon politik yang sarat dengan
makna/simbol nasionalisme, heroik, pancasilais, Indonesia banget bisa membuat
gentar hati musuh. Membuat keder lawan, seteru atau pihak yang menganggap
enteng, ringan Indonesia. Dipandang sebelah mata akibat hanya bisa mendayagunakan
kandungan ideologi lokal dan/atau nasional. Pertambahan alami, peremajaan
alami, proses daur ulang akibat dikurasnya sumber daya ideologi, walau
dilakukan tiap hari, malah semakin
melimpah.
Agar jangan sampai langkah politis
kelihatan aslinya, memang sudah hukum timbal baliknya, nyaris kawanan loyalis
menampakkan karakter di atas pola ABS (asal bapak senang). Sepertinya loyal
padahal sudah siap menjegal, menjagal. Menunggu waktu apes, hari sial atau
lengahnya. Bak pesepak bola yang saling incar kaki lawan. bukan fokus ke bola.
Jadi, selagi politik itu bundar. Hati-hati
dengan eksistensi dan jati diri kaki. Jaga wibawanya sampai peluit panjang
wasit berbunyi. Asal jangan sampai lempar handuk putih. Karena mau ganti pemain
antar waktu, sudah kehabisan amunisi. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar