politik lebih bundar dan bulat
daripada bola sepak
Politik di Indonesia mengalami nasib
baik. Tak sebaik praktiknya. Artinya yang praktik politik tak wajib mempunyai
ilmu. Ilmu diraih sambil praktik.
Dikemas, dirumuskan, diformulasikan
menjadi ilmu politik dan diajarkan sejak
dini. Menjadi disiplin ilmu yang serta merta penyandang gelar akademisnya
sepertinya sudah siap pakai dan layak tanding di panggung politik.
Ternyata tidak. Lain cerita,
pencopet ulung beraksi dengan modal silet. Skenario yang lebih mujarab untuk
meraih sukses di industri, syahwat politik tanpa keluar keringat. Tinggal
menjalankan asas nepotisme dengan benar dan baik. Serta tanpa cacat hukum.
Partai politik lokal, anggap setara
secara yuridis atau hal lain, dengan perserikatan sepakbola. Sama-sama tingkat
provinsi. Jauh lebih bergema katimbang PSSI. Berdanya, parpol nasional bukan
akumulasi parpol provinsi. Walau kepengurusannya sampai tingkat kecamatan,
khususnya sebagai bahan verifikasi ikut pesta demokrasi.
Golkar di rezim Orde Baru, lebih
membumi lagi, sampai tingkat kelurahan/desa. Makanya laga sepak bola klas
tarkam (antar kampung), untuk peringati Proklamasi atau hari besar nasional
lainnya, menghasilkan pemain berbakat. Analog dengan tinju. Petinju jalanan kalau
dioles, dipoles bisa jadi petinju ring.
Masih zaman Orde Baru, preman atau
freeman alias manusia bebas, digalang jadi tukang pukul Golkar. Golkar yang
bersinerji dengan baju hijau, maka dibetuklah Angkatan Muda sesuai nama kodam.
Misal Angkatan Muda Diponegoro. Atau menarik massa untuk ikut kampanye yang
ujung-ujungnya nyoblos Golkar.
Masalah mendasar, karena sifat
domisili, PSSI di kandang sendiri tak punya lawan. kecuali mengundang timnas
negara lain. Tepatnya klub dari negara lain. Jelas. Makanya sering kewalahan
jika harus laga tandang.
Banyaknya parpol nasional menjadikan
kompetisi atau pesta demokrasi mengundang minat investor asing. Memanfaatkan
pasal pewarganegaraan maka masuklah TPA (tim pesepakbola asing) secara legal,
resmi dan bagian integral kebijakan pemerintah.
Pesta demokrasi tingkat
kabupaten/kota tidak identika dengan persatuan dan kesatuan koalisi parpol di
tingkat provinsi. Terlebih di tingkat nasional. Laga kandang utawa pesta
demokrasi, seolah tidak ada lawan. Semua bisa diatur. Pasal makan pasal, wajar.
“Begitu
saja koq repot”, ujar Gus Dur, presiden keempat RI.
Jadi, selama lapangan
hijau tak tergusur untuk kepentingan yang lebih penting. Tak ada matinya bagi
anak cucu ideologis. Mereka siap laga di mana saja, kapan saja. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar