Halaman

Senin, 12 Maret 2018

politik lebih bundar dan bulat daripada bola sepak



politik lebih bundar dan bulat daripada bola sepak

Politik di Indonesia mengalami nasib baik. Tak sebaik praktiknya. Artinya yang praktik politik tak wajib mempunyai ilmu. Ilmu diraih sambil praktik.

Dikemas, dirumuskan, diformulasikan menjadi  ilmu politik dan diajarkan sejak dini. Menjadi disiplin ilmu yang serta merta penyandang gelar akademisnya sepertinya sudah siap pakai dan layak tanding di panggung politik.

Ternyata tidak. Lain cerita, pencopet ulung beraksi dengan modal silet. Skenario yang lebih mujarab untuk meraih sukses di industri, syahwat politik tanpa keluar keringat. Tinggal menjalankan asas nepotisme dengan benar dan baik. Serta tanpa cacat hukum.

Partai politik lokal, anggap setara secara yuridis atau hal lain, dengan perserikatan sepakbola. Sama-sama tingkat provinsi. Jauh lebih bergema katimbang PSSI. Berdanya, parpol nasional bukan akumulasi parpol provinsi. Walau kepengurusannya sampai tingkat kecamatan, khususnya sebagai bahan verifikasi ikut pesta demokrasi.

Golkar di rezim Orde Baru, lebih membumi lagi, sampai tingkat kelurahan/desa. Makanya laga sepak bola klas tarkam (antar kampung), untuk peringati Proklamasi atau hari besar nasional lainnya, menghasilkan pemain berbakat. Analog dengan tinju. Petinju jalanan kalau dioles, dipoles bisa jadi petinju ring.

Masih zaman Orde Baru, preman atau freeman alias manusia bebas, digalang jadi tukang pukul Golkar. Golkar yang bersinerji dengan baju hijau, maka dibetuklah Angkatan Muda sesuai nama kodam. Misal Angkatan Muda Diponegoro. Atau menarik massa untuk ikut kampanye yang ujung-ujungnya nyoblos Golkar.

Masalah mendasar, karena sifat domisili, PSSI di kandang sendiri tak punya lawan. kecuali mengundang timnas negara lain. Tepatnya klub dari negara lain. Jelas. Makanya sering kewalahan jika harus laga tandang.

Banyaknya parpol nasional menjadikan kompetisi atau pesta demokrasi mengundang minat investor asing. Memanfaatkan pasal pewarganegaraan maka masuklah TPA (tim pesepakbola asing) secara legal, resmi dan bagian integral kebijakan pemerintah.

Pesta demokrasi tingkat kabupaten/kota tidak identika dengan persatuan dan kesatuan koalisi parpol di tingkat provinsi. Terlebih di tingkat nasional. Laga kandang utawa pesta demokrasi, seolah tidak ada lawan. Semua bisa diatur. Pasal makan pasal, wajar. “Begitu saja koq repot”, ujar Gus Dur, presiden keempat RI.

Jadi, selama lapangan hijau tak tergusur untuk kepentingan yang lebih penting. Tak ada matinya bagi anak cucu ideologis. Mereka siap laga di mana saja, kapan saja. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar