capres alternatif 2019 dan siklus 20 tahun
Bagi anak bangsa pribumi,
putera-puteri asli daerah, kaum bumiputera yang untuk pertama kalinya
mengantongi hak pilih (karena faktor “U” atau ketentuan lainnya), di pemilihan
umum pertama 1999 pasca Orde Baru, sampai detik ini semoga sudah bisa menikmati
humor politik.
Menu politik selama 20 tahun,
1999-2019, tentu sudah berubah drastis. Walau menu lama tak akan pernah basi.
Sesuai asas, ideologi tak akan ada matinya. Anak cucu yuridis ideologis seolah menjadi
sang pewaris.
Bagi yang lahir di tahun 1999,
tentunya belum bisa menggunakan hak pilihnya di pesta demokrasi 2014. Namun
sudah bisa membaca peta politik dan ketahanan moral manusia politik, orang
partai.
Bahan ajar Pancasila sejalan dengan
pengetahuan tentang pelaku sejarah.
Menimbang, bahwa pemilu 1999
merupakan kompromi untuk mempercepat atau mengajukan pemilu 2002. Justru ini
membawa warna politik para parpol pesertanya.
Dampaknya pada menu nasakom besutan
Orde Lama, muncul dengan wadah baru. Gonjang-ganjing politik selama periode
1999-2004, ternyata sebagai cikal bakal pembentukan karakter politik.
Mengingat, bahwa kehidupan berbangsa
dan bernegara acap kali tidak sinkron dengan kehidupan bermasyarakat.
Dua periode 2004-2009 dan 2009-2014
yang menghasilkan presiden keenam, dipastikan membawa efek domino.
Terbukti dan tak heran serta tak
layak diperdebatkan. Parpol juara umum pesta demokrasi 2014 adalah parpol yang
tidak siap menang. Walhasil, intervensi investor politik global, terasa di pola
pemerintahan 2014-2019. Sindikasi kekuatan asing sudah menjadi lagu wajib
penguasa. Merajalelanya daya kendali manusia ekonomi.
Tak salah jika disimpulkan atau
ditarik benang merahnya, akan ada adu suara antara menu nasakom Orde Lama dengan
modus single majority Orde Baru. Yang tetap keluar sebagai juara umum
adalah manusia ekonomi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar