kisah
keledai asing dan asu mbalèni piringé
Memang keledai bukan binatang asli
dan berasl dari Indonesia. Terasa asing dan hanya bisa dilihat di kebun
binatang. Yang tak asing di telinga kita adalah peribahasa yang menggunakan lema
‘keledai’.
Bahkan di negeri asalnya, lema ‘keledai’
juga jadi bahan baku peribahasa.
Binatang yang universal, tentunya
termasuk di Nusantara, masuk materi peribahasa. Tak terkecuali bahasa Jawa. Paribasan.
Paling mantap kalau dua peribahasa,
apalagi beda bahasa, disandingkan, dibandingkan, ditandingkan. Seperti judul di
atas.
Peribahasa dengan lema ‘keledai’
sengaja tak ditayangkan. Sudah rahasia umum. Khususnya jelang tahun politik
2019.
Ada-ada saja tingkah laku, tindak
tanduk anak bangsa pribumi. Main politik seperti anak main atau permainan anak.
Semakin banyak aturan main politik, artinya modus politik semakin canggih.
Jam terbang, rekam jejak, catatan
sejarah pemain politik bukan jaminan. Tidak ada pasal bahwa karir politik mesti
dirintis dari nol, dimulai menapak dari bawah. Bahkan bisa langsung di puncak
pimpinan, dengan mendirikan sebuah partai politik.
Argo biaya politik dimulai ketika
seseorang mewujudkan ide politiknya. Sudah mulai fokus akan hasil maupun
targetnya. Yang disasar bukan ‘gajah diseberang lautan’.
Jer Basuki Mawa Béya mengandung
makna bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan diperlukan pengorbanan. Pengorbanan
atau beya di sini dalam arti luas, yang meliputi pengorbanan biaya dan
pengorbanan lain, baik materiil maupun non materiil. ‘Pengorbanan biaya’
yang mendasari marak, merebak dan suburnya politik transaksional, ideologi Rp,
jual beli kursi, koalisi, politik balas jasa/balas budi sekaligus politik balas
dendam. Termasuk mengadop faham ‘no free lunch’.
Kalau sudah duduk, maunya duduk lagi. Soal barisan di belakang, sudah
bosan. Jangan hiraukan. Soal rakyat ingin agar bangsa ini jangan tergadaikan,
bukan urusannya. Jangan kepalang tanggung. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar