Halaman

Selasa, 20 Maret 2018

Mukiyo Politik, Belum Dipinang Sudah Menimang


Mukiyo Politik, Belum Dipinang Sudah Menimang

Tidak hanya anak-anak atau sebutan lainnya yang identik dengan umur/usia, yang baru mulai berfantasi. Angan-angan mulai efektif di daya ingat anak. Imajinasi terbentuk sejalan dengan pemanfaatan daya nalar. Pada tahap ini, orang tua harus jujur ke anak. Disesuaikan dengan kemampuan anak mencerna perintah dan/atau larangan.

Hindari yang sifatnya membohongi maupun menakut-nakuti. Kenalkan anak dengan fakta dan realitas kehidupan. Saat yang tepat mengenalkan anak dengan lingkungan. Bukan asal melarang. Sehingga anak malah takut salah berbuat. Atau sengaja melakukan untuk ingin tahu betul.

Pengalaman orang tua di waktu kecilnya, terekam. Akan mempengaruhi pola asuh anak. Karena orang tua merupakan dua individu, serba beda, bersatu dalam ikatan pernikahan, akan menghasilkan sinergitas.

Keluarga, rumah tangga senbgai madrasah utama, awal dan sekolah pertama bagi anak. Orang tua berperan sebagai guru. Orang tua sebagai panutan, lebih mujarab setelah faktor ajar, faktor didik, maupun aneka pola asah, asih, asuh.

Faktor sanjungan, pujian atau penghargaan orang tua kepada anak, semakin menambah percaya diri anak. Memarahi anak dengan gaya bercanda. Anak akan lebih merasa, daripada main bentak, kata kasar. makian apalagi cubitan.

Bangsa Indonesia bersyukur. Mendidik anak ada payung hukumnya. Kondisi ini memperkuat adab mendidik anak sesuai agama Islam. Wajib  belajar semakin berdaya guna dan berhasil jika ditinjang peran aktif orang tua dan keluarga. Tradisi keilmuan bukan barang langka.

Yang langka atau malah semakin langka adalah pendidik politik.

Tak salah, kalau anak bangsa tahunya politik karena tradisi keluarga. Tak jauh-jauh dengan contoh keluarga militer. Melahirkan istilah klan, keluarga politik, dinasti politik, trah darah politik atau sebutan lainnya. Anak cucu ideologis menjadi kebanggaan. Sehingga tak perlu sekolah politik.

Bermain politik, tak harus mulai dari 0 (nol), menapak dari anak tangga paling bawah, merintis dari merangkak atau start awal sebagai kader. Selalu terjadi di pesta demokrasi. Faktor “U” (uang) bisa membuat orang yang “buta politik”, mulus dilantik jadi wakil rakyat dan /atau kepala daerah.

Tolok ukur keberhasilan manusia politik, aktivis partai adalah jika mampu menjadi wakil rakyat dan/atau kepala daerah. Strata lebih tinggi lagi jika menjadi tersangka kasus korupsi.

Bagaimana meningkatan daya saing antar kader partai. Sejarah membuktikan, memang harus menguasai jurus serbatéga. Tidak ada istilah timbang rasa. Diramu dengan rasa jangan percaya kepada orang lain. Tangan kananpun tak percaya dengan modus tangan kirinya. Tangan kanan menerima sesuatu, tangan kiri jangan ngrécoki. Masing-masing sudah punya job.

Pada kondisi tertentu, sebagai bukti klasnya, menjadi takut dengan bayangannya sendiri. Takut ada yang menyetir. Memotong bayangannya menjadi mantel ajaib.

Belum selesai atau belum jelas kiat menjadi laik tanding. Layak laga di kandang sendiri. Politik itu sistem. Tapi bagi yang sedang berkuasa, sentral kekuatan, kekuasaan ada di tangan penguasa. Bebas aktif berbuat apa saja. Semau gué. Bisa bertindak sak énak wudelé dhéwé.

Pasca janji/sumpah jabatan. Selain harus balik modal, melaksanakan skenario investor politik, harus membuat jadwal ketat. Jangan sampai mesin mengadat di tengah jalan. Jangan sampai barisan tidak sampil garis akhir. Jangan sampai dicampakkan pemodal di tengah jalan. Karena sudah tidak produktif. Kehilangan kepercayaan.

Pasal berilutnya, yang kalah menyita energi. Bermain cantik, semua kebagian bola. Skore akhir bisa diatur. Bisa melaju ke babak berikutnya. Tepatnya ke periode terakhir, periode kedua.

Soal siapa lawan laga, tidak diperhitungkan. Sebagai pejawat, merasa di atas angin. Kalkulasi politik di atas kertas dengan berita baik. Angan-angan, fantasi, imajinasi politik dipenuhi dengan sorak-sorai. Tepuk tangan. Pesta pora.

Semakin tidak ada yang mengingatkan, semakin lupa daratan, mabuk laut, mulas udara, dan linglung lalu lintas. Modal kacamata kuda – tak tak gigit besi – karena hidung sudah bertali. Merasa akan melenggang sendirian di jalur lambat.

Sejarah yang akan membuktikan. Kancil adu cepat lari santai melawan bekicot. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar