Mukiyo Politik,
Belum Dipinang Sudah Menimang
Tidak hanya anak-anak atau sebutan lainnya yang
identik dengan umur/usia, yang baru mulai berfantasi. Angan-angan mulai efektif
di daya ingat anak. Imajinasi terbentuk sejalan dengan pemanfaatan daya nalar. Pada
tahap ini, orang tua harus jujur ke anak. Disesuaikan dengan kemampuan anak
mencerna perintah dan/atau larangan.
Hindari yang sifatnya membohongi maupun
menakut-nakuti. Kenalkan anak dengan fakta dan realitas kehidupan. Saat yang
tepat mengenalkan anak dengan lingkungan. Bukan asal melarang. Sehingga anak
malah takut salah berbuat. Atau sengaja melakukan untuk ingin tahu betul.
Pengalaman orang tua di waktu kecilnya, terekam. Akan
mempengaruhi pola asuh anak. Karena orang tua merupakan dua individu, serba
beda, bersatu dalam ikatan pernikahan, akan menghasilkan sinergitas.
Keluarga, rumah tangga senbgai madrasah utama, awal
dan sekolah pertama bagi anak. Orang tua berperan sebagai guru. Orang tua
sebagai panutan, lebih mujarab setelah faktor ajar, faktor didik, maupun aneka
pola asah, asih, asuh.
Faktor sanjungan, pujian atau penghargaan orang tua
kepada anak, semakin menambah percaya diri anak. Memarahi anak dengan gaya
bercanda. Anak akan lebih merasa, daripada main bentak, kata kasar. makian apalagi
cubitan.
Bangsa Indonesia bersyukur. Mendidik anak ada payung
hukumnya. Kondisi ini memperkuat adab mendidik anak sesuai agama Islam.
Wajib belajar semakin berdaya guna dan
berhasil jika ditinjang peran aktif orang tua dan keluarga. Tradisi keilmuan
bukan barang langka.
Yang langka atau malah semakin langka adalah pendidik
politik.
Tak salah, kalau anak bangsa tahunya politik karena
tradisi keluarga. Tak jauh-jauh dengan contoh keluarga militer. Melahirkan
istilah klan, keluarga politik, dinasti politik, trah darah politik atau
sebutan lainnya. Anak cucu ideologis menjadi kebanggaan. Sehingga tak perlu
sekolah politik.
Bermain politik, tak harus mulai dari 0 (nol), menapak
dari anak tangga paling bawah, merintis dari merangkak atau start awal sebagai
kader. Selalu terjadi di pesta demokrasi. Faktor “U” (uang) bisa membuat orang
yang “buta politik”, mulus dilantik jadi wakil rakyat dan /atau kepala daerah.
Tolok ukur keberhasilan manusia politik, aktivis
partai adalah jika mampu menjadi wakil rakyat dan/atau kepala daerah. Strata
lebih tinggi lagi jika menjadi tersangka kasus korupsi.
Bagaimana meningkatan daya saing antar kader partai.
Sejarah membuktikan, memang harus menguasai jurus serbatéga. Tidak ada istilah
timbang rasa. Diramu dengan rasa jangan percaya kepada orang lain. Tangan
kananpun tak percaya dengan modus tangan kirinya. Tangan kanan menerima
sesuatu, tangan kiri jangan ngrécoki. Masing-masing sudah punya job.
Pada kondisi tertentu, sebagai bukti klasnya, menjadi
takut dengan bayangannya sendiri. Takut ada yang menyetir. Memotong bayangannya
menjadi mantel ajaib.
Belum selesai atau belum jelas kiat menjadi laik
tanding. Layak laga di kandang sendiri. Politik itu sistem. Tapi bagi yang
sedang berkuasa, sentral kekuatan, kekuasaan ada di tangan penguasa. Bebas
aktif berbuat apa saja. Semau gué. Bisa bertindak sak énak wudelé dhéwé.
Pasca janji/sumpah jabatan. Selain harus balik modal, melaksanakan
skenario investor politik, harus membuat jadwal ketat. Jangan sampai mesin
mengadat di tengah jalan. Jangan sampai barisan tidak sampil garis akhir.
Jangan sampai dicampakkan pemodal di tengah jalan. Karena sudah tidak
produktif. Kehilangan kepercayaan.
Pasal berilutnya, yang kalah menyita energi. Bermain
cantik, semua kebagian bola. Skore akhir bisa diatur. Bisa melaju ke babak
berikutnya. Tepatnya ke periode terakhir, periode kedua.
Soal siapa lawan laga, tidak diperhitungkan. Sebagai pejawat,
merasa di atas angin. Kalkulasi politik di atas kertas dengan berita baik.
Angan-angan, fantasi, imajinasi politik dipenuhi dengan sorak-sorai. Tepuk
tangan. Pesta pora.
Semakin tidak ada yang mengingatkan, semakin lupa
daratan, mabuk laut, mulas udara, dan linglung lalu lintas. Modal kacamata kuda
– tak tak gigit besi – karena hidung sudah bertali. Merasa akan melenggang
sendirian di jalur lambat.
Sejarah
yang akan membuktikan. Kancil adu cepat lari santai melawan bekicot. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar