menu nasakom Orde Lama vs modus single
majority Orde Baru
Tak salah jika disimpulkan atau
ditarik benang merahnya, di laga kandang pesta demokrasi 2019, akan ada adu nyali
antara menu nasakom Orde Lama dengan modus single majority Orde Baru.
Yang tetap keluar sebagai juara umum adalah penyandang dana atau investor
politik.
Usai Golkar berubah bentuk menjadi
partai politik, hasil Munas 1998, menjadikan PG bangkit dari masa kritis. Penyakit
bawaan atau karakter di masa Orde Baru, berupa
ABG, yaitu ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Birokrasi, dan Golongan
Karya. Anggota ABRI, walau tidak ikut memilih dalam pemilu, adalah kekuatan
utama Golkar. Korpri atau pegawai negeri, digiring menjadi anggota Golkar.
Jalur “G” terdiri atas tiga kelompok induk organisasi, yaitu Koperasi Serbaguna
Gotong Royong (Kosgoro), Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Soksi),
dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Golkar menduduki peranan yang
penting sebagai partai pemerintah. Golkar menjadi sebuah kekuatan politik alternatif
dan menjadi mesin politik yang efektif di tangan penguasa tunggal Orde Baru.
Bangsa ini mungkin lupa bahwasanya
bagaimana Sekber Golkar di bentuk tahun 1964.
Nyaris lupa, justru penyakit bawaan
dan predikatnya, sepertinya PG ditumbuhi parasit, benalu politik. Orang kuat PG
bukan karena sedang berkuasa, tetapi di bawah kendali sang pemodal. Wajar sebuah
parpol tergantung dana operasi.
Kepengurusan Golkar di masa Orde
Baru yang sampai tingkat pemerintahan paling bawah, sebagai fakta sejarah dan
menjadi nilai tambah. Kendati PG tergantung pada ketokohan, namun masih
mengutamakan berorientasi pada sistem.
Dengan kata lain, jika banyak “orang
kuat” di tubuh PG atau mereka ada di mana-mana, terindikasi sebagai celah retak.
4 parpol baru peserta pesta demokrasi 2019, semakin menegaskan, menjelaskan ada
apa PG.
Yang sulit dijadikan sasaran survei berbayar
atau bahan kajian akademis maupun penelitian asing adalah fluktuasi pergerakan
rakyat.
Artinya, anak bangsa pribumi, kaum
bumiputera, rakyat kebanyakan, putera-puteri asli daerah adalah insan yang tahu
berterima kasih. Lebih dari itu, mereka sadar dan tidak mau terjerumus ke
lubang yang sama untuk kedua kalinya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar