Halaman

Senin, 12 Maret 2018

dilema lauk malam, sepotong tahu vs telur ayam setengah



dilema lauk malam, sepotong tahu vs telur ayam setengah

Kata bijak, ujar orang bijak, bertindak dengan bijak jika tidur malam, perut jangan berisi. Biarkan perut betristirahat dari tugas sebagai pencerna makanan minuman. Menimbang bahwa pemilik perut adalah pensiunan, yang mana jadwal makan sudah tidak seperti sewaktu masih dinas.

Karena kebutuhan dan tuntutan energi, makan menjadi 2 kali sehari. Tepatnya selang 12 jam. Bangun tidur minum susu oplosan hangat. Pagi pkl 10 am, perut diisi santapan standar, nasi berlauk plus/minus sayur.

Dari kesibukan yang satu ganti ke kesibukan yang lain. Tak terasa lima waktu sholat fardhu sudah ditunaikan. Bahkan, Alhamdulillah, bisa menegakkan sholat di awal waktu. Ditambah sholat sunnah.

Di hari kerja, pekerjaan malam yang hitungan jam terasa adalah menunggu kepulangan isteri yang masih dinas di tempat yang sama.

Nyaris rutin, jika usai isya’, tanak nasi. Nasi khusus yang sesuai kebutuhan dan kinerja perut. Nasi oplosan, beras merah dan beras pera. Agar perut tak keroncongan, minum teh hijau tawar. Sekitar pukul 21an, sms “otwh” dari isteri masuk. Kecuali ada pasal lain. Isteri pulang bawa lauk. Terkadang ada sebungkus nasi. Isteri datang langsung santap malam. Sambil melakukan perundingan bilateral.

Malam itu, malam senin. Tradisi makan jadi berubah jika isteri di rumah. Walau cadangan lau masih ada. Bakda subuh ahad, usai majelis ilmu, jamaah lanjut kumpul di emper masjid santap makanan ringan dan minum teh hangat. Infaq jamaah subuh bisa untuk kebutuhan acara majelis ilmu, bakda subuh tiap sabtu dan ahad.

Hidangan memang bervariasi. Kebanyakan yang lunak. Maklum jamaah banyak yang sudah sepuh. Dengar tausyiah sambil bersandar di dinding masjid. Jadi, bisa dinalar jika banyaknya hidangan tergantung masukan infaq. Ada jamaah yang langsung pulang. Ada juga jamaah yang ambil jatah untuk 2 atau 3 orang. Pasokan berlimpah. Saat itu santapan ringan berupa arem-arem dan tahu goreng.

Di rumah masih ada lauk telur setengah. Olahan yang memang enak jika telur dibelah. Plus makaroni.

Agar nasi tak menginap, dihabiskan dan memang pas untuk satu perut. Praktisnya, nasi di panci ditambah lauk. Duduk santi di lantai dapur sambil studi banding dengan isteri.
Cerita inti baru dimulai. Tahu dan juga tempe yang merupakan lauk kasta rakyat. Berjumpa dengan telur yang kasta wong gedongan. Masih ingat zaman SR dulu, lauk telur termasuk cukup mewah. Saking mewahnya, satu telur dibelah dua. Berebut untuk mendapatkan kuning yang terbesar. Agaknya ibu sudah pengalaman membelah telur. Sehingga bisa simetris.

Saya tidak tahu, apakah dua lauk beda kasta, saling berebut masuk mulut. Agar tidak terjadi konflik akibat kecemburuan sosial, makan dengan lauk secuwil tahu ditambah secuwil telur. Asas adil dan merata diberlakukan. Mungkin karena nasi secukupnya, nasi habis lauk belum hasil. Akhirnya suapan terakhir berimbang dengan lauknya. Babak terakhir ini tidak diakhiri dengan minum. Sebagai orang bijak, tak teguk air putih usai makan agar perut fokus dan konsentrasi urus makanan saja.

Lain cerita jika lauknya juga lain. Bersambung atau tidak. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar