dilema lauk malam, sepotong tahu
vs telur ayam setengah
Kata bijak, ujar orang bijak,
bertindak dengan bijak jika tidur malam, perut jangan berisi. Biarkan perut
betristirahat dari tugas sebagai pencerna makanan minuman. Menimbang bahwa
pemilik perut adalah pensiunan, yang mana jadwal makan sudah tidak seperti
sewaktu masih dinas.
Karena kebutuhan dan tuntutan energi,
makan menjadi 2 kali sehari. Tepatnya selang 12 jam. Bangun tidur minum susu
oplosan hangat. Pagi pkl 10 am, perut diisi santapan standar, nasi berlauk
plus/minus sayur.
Dari kesibukan yang satu ganti ke
kesibukan yang lain. Tak terasa lima waktu sholat fardhu sudah ditunaikan. Bahkan,
Alhamdulillah, bisa menegakkan sholat di awal waktu. Ditambah sholat sunnah.
Di hari kerja, pekerjaan malam yang
hitungan jam terasa adalah menunggu kepulangan isteri yang masih dinas di
tempat yang sama.
Nyaris rutin, jika usai isya’, tanak
nasi. Nasi khusus yang sesuai kebutuhan dan kinerja perut. Nasi oplosan, beras
merah dan beras pera. Agar perut tak keroncongan, minum teh hijau tawar. Sekitar
pukul 21an, sms “otwh” dari isteri masuk. Kecuali ada pasal lain. Isteri pulang
bawa lauk. Terkadang ada sebungkus nasi. Isteri datang langsung santap malam. Sambil
melakukan perundingan bilateral.
Malam itu, malam senin. Tradisi makan
jadi berubah jika isteri di rumah. Walau cadangan lau masih ada. Bakda subuh
ahad, usai majelis ilmu, jamaah lanjut kumpul di emper masjid santap makanan
ringan dan minum teh hangat. Infaq jamaah subuh bisa untuk kebutuhan acara
majelis ilmu, bakda subuh tiap sabtu dan ahad.
Hidangan memang bervariasi. Kebanyakan
yang lunak. Maklum jamaah banyak yang sudah sepuh. Dengar tausyiah sambil
bersandar di dinding masjid. Jadi, bisa dinalar jika banyaknya hidangan
tergantung masukan infaq. Ada jamaah yang langsung pulang. Ada juga jamaah yang
ambil jatah untuk 2 atau 3 orang. Pasokan berlimpah. Saat itu santapan ringan
berupa arem-arem dan tahu goreng.
Di rumah masih ada lauk telur
setengah. Olahan yang memang enak jika telur dibelah. Plus makaroni.
Agar nasi tak menginap, dihabiskan
dan memang pas untuk satu perut. Praktisnya, nasi di panci ditambah lauk. Duduk
santi di lantai dapur sambil studi banding dengan isteri.
Cerita inti baru dimulai. Tahu dan
juga tempe yang merupakan lauk kasta rakyat. Berjumpa dengan telur yang kasta
wong gedongan. Masih ingat zaman SR dulu, lauk telur termasuk cukup mewah. Saking
mewahnya, satu telur dibelah dua. Berebut untuk mendapatkan kuning yang
terbesar. Agaknya ibu sudah pengalaman membelah telur. Sehingga bisa simetris.
Saya tidak tahu, apakah dua lauk beda
kasta, saling berebut masuk mulut. Agar tidak terjadi konflik akibat
kecemburuan sosial, makan dengan lauk secuwil tahu ditambah secuwil telur. Asas
adil dan merata diberlakukan. Mungkin karena nasi secukupnya, nasi habis lauk
belum hasil. Akhirnya suapan terakhir berimbang dengan lauknya. Babak terakhir
ini tidak diakhiri dengan minum. Sebagai orang bijak, tak teguk air putih usai
makan agar perut fokus dan konsentrasi urus makanan saja.
Lain cerita jika lauknya juga lain. Bersambung
atau tidak. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar