suhu politik memanas tetapi membekukan
Mazhab politik yang beredar di
Nusantara, entah bagaimana cerita dengan politik lokal, masih sebatas hanya bak
pengentasan kemiskinan. Artinya, jangan sampai orang partai yang berjuang
melalui partai politik, ujung-ujungnya – setelah tak berjaya – bak hilang ditelan
zaman. Terpinggirkan, tersisihkan, terlupakan oleh waktu.
Bagi atlit politik yang pernah
mengantongi sertifikat klas dunia atau klas ajang bergensi, tidak ada kata pensiun.
Capai atau merasa sudah tua. Ironisnya, malah banyak pemain tua yang memaksakan
diri untuk tampil di pentas politik nasional.
Mantan atlit nasional beralih
fungsi, tukar nasib, ganti profesi menjadi pelatih.
Beda dengan presiden pertama sampai
dengan yang sekarang, lebih memilih tindak politik. Terkecuali presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf
Habibie, karena bisa main pesawat betulan, tak perlu repot dengan urusan
politik.
Semangat nasionalisme dan patriotisme
di tangan BJ Habibie dalam bentuk lain, sesuai kapasitas diri. Karena pernah
merasakan menjadi pembantu presiden, wakil presiden dan presiden. Beluai tidak
mau menapak tilas kisah suksesnya.
Jelas-jelas beliau dengan derajat
keilmuannya, tahu titik retak di tubuh Nusantara, jika parpol yang ada digeber.
Hanya mengikuti syahwat politik. Ujung-ujungnya malah menjadikan gelar koruptor
sebagai jabatan bergengsi bagi manusia politik, orang partai.
Saat tahun 2017, bangsa ini merasa
was-was dengan tahun politik 2018. Pilkada serentak sepertinya menjadi momok. Memasuki
tahun 2018, rakyat tersihir dengan berita siapa saja parpol yang akan
meramaikan pemilihan legislatif yang serentak dengan pemilihan presiden 2019.
Dua tahun terakhir periode 2014-2019,
terjadilan berita politik beriringan, berimbang, saling melengkapi dengan berita kriminal. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar