Halaman

Minggu, 04 Maret 2018

suhu politik memanas tetapi membekukan



suhu politik memanas tetapi membekukan

Mazhab politik yang beredar di Nusantara, entah bagaimana cerita dengan politik lokal, masih sebatas hanya bak pengentasan kemiskinan. Artinya, jangan sampai orang partai yang berjuang melalui partai politik, ujung-ujungnya –  setelah tak berjaya – bak hilang ditelan zaman. Terpinggirkan, tersisihkan, terlupakan oleh waktu.

Bagi atlit politik yang pernah mengantongi sertifikat klas dunia atau klas ajang bergensi, tidak ada kata pensiun. Capai atau merasa sudah tua. Ironisnya, malah banyak pemain tua yang memaksakan diri untuk tampil di pentas politik nasional.

Mantan atlit nasional beralih fungsi, tukar nasib, ganti profesi menjadi pelatih.

Beda dengan presiden pertama sampai dengan yang sekarang, lebih memilih tindak politik.  Terkecuali presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie, karena bisa main pesawat betulan, tak perlu repot dengan urusan politik.

Semangat nasionalisme dan patriotisme di tangan BJ Habibie dalam bentuk lain, sesuai kapasitas diri. Karena pernah merasakan menjadi pembantu presiden, wakil presiden dan presiden. Beluai tidak mau menapak tilas kisah suksesnya.

Jelas-jelas beliau dengan derajat keilmuannya, tahu titik retak di tubuh Nusantara, jika parpol yang ada digeber. Hanya mengikuti syahwat politik. Ujung-ujungnya malah menjadikan gelar koruptor sebagai jabatan bergengsi bagi manusia politik, orang partai.

Saat tahun 2017, bangsa ini merasa was-was dengan tahun politik 2018. Pilkada serentak sepertinya menjadi momok. Memasuki tahun 2018, rakyat tersihir dengan berita siapa saja parpol yang akan meramaikan pemilihan legislatif yang serentak dengan pemilihan presiden 2019.

 Dua tahun terakhir periode 2014-2019, terjadilan berita politik beriringan, berimbang, saling melengkapi  dengan berita kriminal.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar