menu tahun
politik, rasa bohong vs sensasi syahwat
Fantasi, ilusi, rekakhayal,
manipulasi watak, imajinasi fiktif di industri politik Nusantara sudah
melampaui ambang batas normal. Justru menarik. Karena sang pelaku memang
nyalinya di atas rata-rata orang normal.
Sebetulnya rakyat tak mau pusing dengan
aneka adegan, serba acara, berbagai atraksi humor politik. Selain memang bukan level-nya,
bukan klasnya juga tak nyambung. Opo kuwi.
“Wong édan kok ditonton”.
Dadiné, sing édan, kurang waras rodo-rodo miring kuwi sing ditonton opo sing
nonton. Keluh
ki dalang Sobopawon saat mentas di seminar gratis dengan tema “Bohong Kawanku”.
Penguasa melihat media massa sebagai
khalayak, sebagai hamparan rakyat yang siap menunggu. Bukannya yang memberi
umpan balik atau bahkan masuk pasal menghina tujuh turunan. Fakta lapangan
jangan dihidangkan di meja. Cukup jadi bukti pihak yang berkepentingan.
Pada saatnya, bau busuk yang
disimpang rapi, akan terlupakan. Kalah dengan kebusukan lain yang lebih busuk.
Kebusukan yang satu kalah dengan kebusukan yang lain. Ujar ki dalang Sobopawon
sambil tepuk jidat.
Akhirnya, bukan wayang kulit yang
dipegang ki dalang. Semua watak orang partai disimbolkan dengan jari tangan. Kalau
tangan kanan mewakili yang baik dan benar. Tangan kiri disarankan untuk
membersihkan diri pasca BAB.
Kebiasaan anak bangsa pribumi,
putera-puteri asli daerah, kaum bumiputera, kalau usai makan dan/atau minum. Mulut
diseka dengan tangan kiri. Wajar. Tangan kanan sibuk pegang.
Masih dari hidangan akhir periode
sekaligus membuka babakan periode berikutnya. Dengan catatan dilarang membawa
menu dari luar. Air putih tidak gratis. Bahkan untuk cuci mulut dan
bersih-bersih tangan.
Harga di daftar menu tidak mengikat.
Sewaktu-waktu berubah, tanpa pemberitahuan. Minimal, harga yang berlaku cuma yang
tercatat di tangan juru catat. Dengan pola main kira-kira porsi yang habis. Ambil
kuah, sudah dihitung lauk satu piring. Édan tenan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar