Halaman

Rabu, 31 Juli 2019

utang di mata bukan rakyat


utang di mata bukan rakyat

Bermula dari asas bahwasanya utang bisa menjadi komponen pembiayaan untuk mempercepat pembangunan. Defisit anggaran bukan hanya dijaga pada batas aman, melainkan juga efektif untuk membiayai belanja yang produktif. Dilaporkan, “Mengelola Utang Sebagai Instrumen Pembiayaan”. Lanjut dengan “Utang Produktif Berdampak Positif”.

Untuk pembangunan yang produktif, maka Utang adalah salah satu jawabannya. Dengan berutang, pemerintah dapat melaksanakan program-program yang sudah dicanangkan, yaitu program jangka menengah dan program tahunan. Tentunya defisit yang terarah mampu mendukung kegiatan produktif untuk meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing. Hal tersebut juga tak lepas dari pengelolaan kebijakan fiskal yang sehat dan berkesinambungan, antara lain mengendalikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Terkait penggunaan utang, tentunya utang kita manfaatkan untuk kegiatan yang produktif. Penggunaannya untuk membiayai belanja-belanja yang dimasukan di Kementerian/Lembaga (K/L), yang sebelumnya ditetapkan bersama dengan DPR.

APBN kita saja telah mengunci belanja untuk pendidikan 20 persen dan kesehatan 5 persen. Selain itu, belanja produktif lainnya digunakan untuk belanja infrastruktur. Ini artinya, kita berinvestasi untuk masa depan.

Pemerintah masih membutuhkan utang untuk pembangunan di dalam negeri. Pemerintahan Presiden Jokowi berkomitmen untuk melaksanakan kebijakan fiskal yang ekspansif dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Dalam kebijakan yang ekspansif, kebutuhan belanja pembangunan menjadi prioritas. Saat ini, pendapatan negara belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan belanja, sehingga pemerintah masih mengambil kebijakan utang. Pengelolaan utang sebagai bagian dari pembiayaan di Indonesia antara lain diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di dalam aturan tersebut, defisit anggaran dibatasi tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan rasio utang Indonesia terhadap PDB saat ini, yang berkisar 27,7 persen, telah mengalami penurunan dari 2016 sebesar 32 persen. “Jika dibandingkan penduduk Indonesia perkepala menanggung utang USD997. Sementara Amerika Serikat yang dikatakan negara kuat dan kaya, penduduknya perkepala menanggung utang hingga USD85.000. Jadi kita masih baik,” kata Menkeu dalam kuliah umum bertema Prospek Ekonomi Indonesia 2017 dalam acara HUT Media Indonesia ke-47, Kamis (19/1) di Jakarta.

Dalam teori ilmu ekonomi, utang tidak dilarang. Porsi utang juga harus diperhatikan agar tidak menabrak undang-undang. Di samping itu, pemerintah dipandang perlu secara terarah memperhatikan sumber utang. “Lebih baik utang ke dalam negeri dan mengurangi utang ke lembaga donor. Kedaulatan negara menjadi tidak tergadaikan,” lanjutnya.

Masih berlanjut. Utuhnya silahkan simak Media Keuangan VOLUME XII / NO. 113 / FEBRUARI 2017. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar