Halaman

Kamis, 18 Juli 2019

“di masjid ini, hanya saya yang Waras”, ujar pemilik nama


“di masjid ini, hanya saya yang Waras”, ujar pemilik nama

Saat rokaat kedua sholat qobliah, pasca azan isya’ di masih terjangkau kuping. Berdiri sosok lenbih tinggi plus lebih besar dariku. Sebelah kanan. Sepertinya, tengadahkan tangan. Pakai lama khusyuknya.

Saat salam ke kanan, kubaru tahu. Beliau adalah jamaah 5 waktu. Biasanya, usai maghrib, langsung tadarus baca Al-Qur’an dengan suara khas dan tertangkap telinga. Baru berhenti ketika azan isya’ dikumandangkan. Tidak otomatis. Kalau surah yang dibaca belum selesai atau sampai batas ayat, terus melaju. Sesama jamaah sudah tahu sama tahu. Demikianlah dinamika masjid.

Saat beliau ajukan tangan kanan, ucap salam plus ajak jabat tangan. Kubilang, sambil gemggap kuat tangannya: “Nama, pak Waras Bijak Bestara . . . “. Beliau hanya senyum, lanjut jabat tangan dengan jamaah di kanan dan belakang. Nyambung palingkan wajah ke saya.

Saat itu, sambil tersenyum beliau bilang: “Waras Bestari . . . tidak pakai Bijak”. Langsung kujawab santai:”Bijak-nya hilang. Tapi Waras-nya masih . . . “. Beliau hanya nyengir, langsung menegaskan sesuai judul: “Di masjid ini, hanya saya yang Waras . . . “.

Saat usai menjawab. Langsung beliau berdoa. Cukup sholat takhiyatul masjid. Tak pakai qobliah. Memenuhi syarat untuk duduk manis, tunggu iqomah. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar