“di masjid ini,
hanya saya yang Waras”, ujar pemilik nama
Saat rokaat
kedua sholat qobliah, pasca azan isya’ di masih terjangkau kuping. Berdiri sosok
lenbih tinggi plus lebih besar dariku. Sebelah kanan. Sepertinya, tengadahkan
tangan. Pakai lama khusyuknya.
Saat salam
ke kanan, kubaru tahu. Beliau adalah jamaah 5 waktu. Biasanya, usai maghrib,
langsung tadarus baca Al-Qur’an dengan suara khas dan tertangkap telinga. Baru berhenti
ketika azan isya’ dikumandangkan. Tidak otomatis. Kalau surah yang dibaca belum
selesai atau sampai batas ayat, terus melaju. Sesama jamaah sudah tahu sama
tahu. Demikianlah dinamika masjid.
Saat beliau
ajukan tangan kanan, ucap salam plus ajak jabat tangan. Kubilang, sambil
gemggap kuat tangannya: “Nama, pak Waras Bijak Bestara . . . “. Beliau hanya
senyum, lanjut jabat tangan dengan jamaah di kanan dan belakang. Nyambung palingkan
wajah ke saya.
Saat itu,
sambil tersenyum beliau bilang: “Waras Bestari . . . tidak pakai Bijak”. Langsung
kujawab santai:”Bijak-nya hilang. Tapi Waras-nya masih . . . “. Beliau hanya
nyengir, langsung menegaskan sesuai judul: “Di masjid ini, hanya saya yang
Waras . . . “.
Saat usai
menjawab. Langsung beliau berdoa. Cukup sholat takhiyatul masjid. Tak pakai
qobliah. Memenuhi syarat untuk duduk manis, tunggu iqomah. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar