Halaman

Sabtu, 06 Juli 2019

hajat demokrasi nusantara, sumbang orang vs imbalan kursi


hajat demokrasi nusantara, sumbang orang vs imbalan kursi

Tetangga punya hajatan besar keluarga, menikahkan anak perempuannya. Menekan biaya pesta, ambil lokasi resepsi di rumah sendiri. Jalan depan rumah bisa disulap. Terasa gotong royong di kehidupan desa. Kontribusi tetangga dengan asas tahu sama tahu. Modal dengkul, sebagai penggembira, relawan ada pasal.

Mirip imbal balik jasa dan atau tenaga. Atau sesuai kemajuan klas ekonomi masing-masing pihak. Ada aturan main tak tertulis. Antar tetangga saja bisa pinjam beras atau minta garam secukupnya.

Antar undangan ke saudara tua, tokoh masyarakat, elite lokal dan sejenisnya. Tidak bisa pakai jasa antar atau kurir. Dibawa sendiri atau orang tua calon pengantin, plus hantaran. Doa restu plus doa lain sangat diharapkan bisa hadir dan ada.

Saling percaya, tak perlu ada bukti CCTV saat sambatan berjalan. Sampai pembubaran panitia, aman-aman saja. Terkendali dalam ikatan moral bermasyarakat. Pernah saya utarakan pengalaman saya mendatangi hajat dimaksud. Dengan pola USDEK. Bukan resepsi berdiri. Kursi sesuai arahan panitia penerima tamu. Usahakan datang sebelum acara mulai.

Meningkat pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Hajat nasional pesta demokrasi.

Banyaknya suara pemilih menentukan perolehan kursi sebagai wakil rakyat, wakil daerah. Pilkada termasuk ditentukan sukses raihan suara pencoblos sah. Dagang suara menjadi lagu wajib. Mau kursi mau rugi.

Kursi kepala negara, sepasang capres dan cawapres. Tarif agresif berlaku pada periode kedua. Pihak penyumbang manusia untuk maju sebagai cawapres. Berharap tanpa harapan. Imbalan tak diminta dimuka. Tapi ditentukan setelah sukses jadi wapres. Ini politik mbokdé Mukiyo !!! [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar