hajat demokrasi nusantara, sumbang orang vs imbalan kursi
Tetangga
punya hajatan besar keluarga, menikahkan anak perempuannya. Menekan biaya
pesta, ambil lokasi resepsi di rumah sendiri. Jalan depan rumah bisa disulap. Terasa
gotong royong di kehidupan desa. Kontribusi tetangga dengan asas tahu sama
tahu. Modal dengkul, sebagai penggembira, relawan ada pasal.
Mirip imbal
balik jasa dan atau tenaga. Atau sesuai kemajuan klas ekonomi masing-masing
pihak. Ada aturan main tak tertulis. Antar tetangga saja bisa pinjam beras atau
minta garam secukupnya.
Antar undangan
ke saudara tua, tokoh masyarakat, elite lokal dan sejenisnya. Tidak bisa pakai
jasa antar atau kurir. Dibawa sendiri atau orang tua calon pengantin, plus
hantaran. Doa restu plus doa lain sangat diharapkan bisa hadir dan ada.
Saling percaya,
tak perlu ada bukti CCTV saat sambatan berjalan. Sampai pembubaran panitia,
aman-aman saja. Terkendali dalam ikatan moral bermasyarakat. Pernah saya
utarakan pengalaman saya mendatangi hajat dimaksud. Dengan pola USDEK. Bukan
resepsi berdiri. Kursi sesuai arahan panitia penerima tamu. Usahakan datang
sebelum acara mulai.
Meningkat
pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Hajat nasional pesta demokrasi.
Banyaknya
suara pemilih menentukan perolehan kursi sebagai wakil rakyat, wakil daerah. Pilkada
termasuk ditentukan sukses raihan suara pencoblos sah. Dagang suara menjadi
lagu wajib. Mau kursi mau rugi.
Kursi kepala
negara, sepasang capres dan cawapres. Tarif agresif berlaku pada periode kedua.
Pihak penyumbang manusia untuk maju sebagai cawapres. Berharap tanpa harapan. Imbalan
tak diminta dimuka. Tapi ditentukan setelah sukses jadi wapres. Ini politik
mbokdé Mukiyo !!! [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar