Halaman

Minggu, 21 Juli 2019

buaya berkulit cicak


buaya berkulit cicak

Sekedar melengkapi khazanah budaya peradaban berkemajuan nuswantara. Mengimbangi laju perkembangan karakter anak bangsa pribumi. Konsekuensi logis efek domino negara berkembang dan bertambah banyak populasi penduduknya.

Banyaknya penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan hukum. Agar perikehidupan sejak dari hulu, tengah sampai hilir dilindungi UU. Tataniaga pelaksanaan hukum menjadi nilai jual aparat penegak hukum. Pelaku atau pemain bebas di pasar gelap jual beli perkara.

Hukum tergantung pada pihak yang berpekara, yang layak secara teknis diduga sebagai tersangka. Patut disangka sebagai terduga. Ingat KUHP atau akronim HAKIM. Jaksa di lidah masyarakat wong Jawa menjadi ‘jekso’ alias yén jejek rekoso. Mendapat awal dan akhiran menjadi ‘bijaksana’.

Di negara adidaya menjadi contoh nyata. Betapa menegakkan hukum sambil bawa senjata api inventaris pemerintah. Bersyukur, di nuswantara tidak ada kasus hukum akibat pembedaan warna kulit. Antara kulit putih yang merasa super dengan sebutan kulit hitam bagi klas budak.

Manusia dan atau orang nuswantara didominasi warna kulit sawo matang. Tirani minoritas dengan adanya si kulit kuning mata sipit, siapa punya.

Pembalakan liar sampai aneka versi kasus kathutla. Tujuan mulia untuk mengurangi sebaran rimba. Agar tak berlaku hukum rimba. Kendati di jalanan sampai istana sudah bertakhta raja rimba. Tepatnya di daerah setingkat desa/kelurahan dan sebutan lainnya, elite lokal menjadi orang kuasa baru.

Jadi, judul di atas sekedar melengkapi, menambah judul mirip. Katakan saja “musang berbulu ayam”. Tempat, lokasi, lokus kejadian perkara tak jauh dari habitat musang. Diadop dari negeri dongeng, bahkan terjadi di negara sebelah atau di negeri 4 musim. Sebutan “serigala berbulu domba” muncul aneka versi sesuai negara ybs. Dongeng sebelum bobo.

Indonesia bukan negeri dongeng, dudu negoro khayalan. Malah mejadi acuan negara lain ikhwal sebagai satu-satunya pemilik Pancasila. ironis binti miris, indeks kepancasilaan penguasa nuswantara mengindikasikan demikianlah fakta sebenarnya. Rahasia umum. Rakyat sekedar dengar-dengar tanpa hak mendengarkan. Apalagi lewat forum dengar pendapat aspirasi, inspirasi, artikulasi kebutuhan rakyat.

Maka daripada itu, janganlah jangan suka main mata. Cukup kejadian kanibalisme, ramuan oplosan, pepatah lawas menjadi: “ngajari buaya main politik”.

Akhir kata, bukan semboyan “jinak-jinak buaya”. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar