buaya berkulit
cicak
Sekedar
melengkapi khazanah budaya peradaban berkemajuan nuswantara. Mengimbangi laju
perkembangan karakter anak bangsa pribumi. Konsekuensi logis efek domino negara
berkembang dan bertambah banyak populasi penduduknya.
Banyaknya
penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan hukum. Agar perikehidupan sejak dari
hulu, tengah sampai hilir dilindungi UU. Tataniaga pelaksanaan hukum menjadi
nilai jual aparat penegak hukum. Pelaku atau pemain bebas di pasar gelap jual
beli perkara.
Hukum tergantung
pada pihak yang berpekara, yang layak secara teknis diduga sebagai tersangka. Patut
disangka sebagai terduga. Ingat KUHP atau akronim HAKIM. Jaksa di lidah masyarakat
wong Jawa menjadi ‘jekso’ alias yén jejek rekoso. Mendapat awal dan akhiran
menjadi ‘bijaksana’.
Di negara
adidaya menjadi contoh nyata. Betapa menegakkan hukum sambil bawa senjata api
inventaris pemerintah. Bersyukur, di nuswantara tidak ada kasus hukum akibat
pembedaan warna kulit. Antara kulit putih yang merasa super dengan sebutan
kulit hitam bagi klas budak.
Manusia
dan atau orang nuswantara didominasi warna kulit sawo matang. Tirani minoritas dengan
adanya si kulit kuning mata sipit, siapa punya.
Pembalakan
liar sampai aneka versi kasus kathutla. Tujuan mulia untuk mengurangi sebaran
rimba. Agar tak berlaku hukum rimba. Kendati di jalanan sampai istana sudah
bertakhta raja rimba. Tepatnya di daerah setingkat desa/kelurahan dan sebutan
lainnya, elite lokal menjadi orang kuasa baru.
Jadi,
judul di atas sekedar melengkapi, menambah judul mirip. Katakan saja “musang berbulu ayam”. Tempat, lokasi, lokus kejadian perkara tak jauh dari
habitat musang. Diadop dari negeri dongeng, bahkan terjadi di negara sebelah
atau di negeri 4 musim. Sebutan “serigala berbulu domba” muncul aneka versi sesuai
negara ybs. Dongeng sebelum bobo.
Indonesia
bukan negeri dongeng, dudu negoro khayalan. Malah mejadi acuan negara lain
ikhwal sebagai satu-satunya pemilik Pancasila. ironis binti miris, indeks
kepancasilaan penguasa nuswantara mengindikasikan demikianlah fakta sebenarnya.
Rahasia umum. Rakyat sekedar dengar-dengar tanpa hak mendengarkan. Apalagi lewat
forum dengar pendapat aspirasi, inspirasi, artikulasi kebutuhan rakyat.
Maka daripada
itu, janganlah jangan suka main mata. Cukup kejadian kanibalisme, ramuan oplosan,
pepatah lawas menjadi: “ngajari buaya main politik”.
Akhir kata,
bukan semboyan “jinak-jinak buaya”. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar