Halaman

Rabu, 10 Juli 2019

indeks rasa aman publik


indeks rasa aman publik

Pakai lema atau kata ‘publik’, entah apa makna, arti atau hal yang tersirat. Masuk melalui lubang telinga kanan – yang diyakini untuk mendengar hal-hal yang baik, benar, bagus – diproses otak untuk menghasilkan  produk unggulan, jujur dan dapat dijadikan modal.

Agaknya, kata ahli yang kelamaan tidak menekuni keahliannya. Ternyata jika dengan publik, kuping kurang familiar, kurang sreg bahkan terasa asing atau bahasa asing. Tidak umum. Lebih terstruktur dengan asupan kata ‘rakyat’ dan seklasnya. Dikaitkan dengan ruang publik, agak menyentuh memori khazanah.

Masuk ke lema ‘aman’. Sebagai kata dasar, kata awal, menghasilkan atau saudar dekat dari lema: amanah, amanat, nyaman, zaman, amandemen. Bahasa Jawa tak mau kalah, walau cuma selangkah. Lebih jujur, lugas, lugu menjelaskan keterkaitan langsung antara kata ‘aman’ dengan kata ‘gaman’, ‘gegaman’. Jangan lupa, bahasa Jawa ada tingkatan penggunaan. Bahasa tubuh menguatkan penjiwaan saat dialog, diskusi, debat dengan berbahasa Jawa sesuai kasta lawan bicara.

Sejarah peradaban membuktikan. Bahwa tata niaga rasa aman, dimulai dari yang privat, pribadi, individual, internal dan sebutan lain sampai ke hal yang bernada umum, terbuka, bersama.

Kembali ke “Kamus Indonesia – Jawa Kuno”, Depdikbud 1992, fokus, khusus pada:

aman a ksema; nirbhaya; nirupadrawa; – sentosa krta: keamanan abhaya; mencari – angabhaya

amanat,n pitungkas; sasana; tuwawa; ubhayasanmata.

bahaya n banggi; bhanggi; bhaya; droha; utpata; – dan bencana maropadrawe; – di jalan margabhaya; yang berbabaya wibhisana

bebas a anasrita; asambadha; mokta; mukta; mukti; nirmukta; parihara; wimukta;
wimukti; – dari takut wigatabhaya;

Berakhir pada lema:

kawal v pengawal adhaka; alas; anggapariraksa; anggaraksa; pangalasan; pariwara; –  pribadi adhikabhayangkari; anggarasa(ka); bhayangkara; bhayangkara; – pribadi terbaik pratyadhiraksana.

Kamus bahasa saja secara tak sengaja malah membuktikan. Singkat kata tapi bukan simpul. Bahwasanya jika ada ikhwal ‘bela negara’, rasanya jauh dari fakta ‘bela juragan’, ‘bela majikan’ alias petugas kawal berkewajiban mengkawal pihak, oknum yang memberi makan.

Padahal, kata wong Jawa, sopo sing nyekel gaman, gegaman, ngroso dhuwé panguwasa sing gedhé. Ketoke cedhak karo rakyat. Nanging sejatiné malah wewenangé kanggo: tembak di tempat, gebuk di tempat.

Akhirnya, di keluarga, di rumah tinggal sendiri, di lingkungan tempat tinggal, di jalanan, di tempat kerja atau tujuan. Sigap, siaga, siap, sedia menjadi obyek tilang. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar