indeks rasa aman publik
Pakai lema atau kata ‘publik’, entah apa makna, arti atau hal yang
tersirat. Masuk melalui lubang telinga kanan – yang diyakini untuk mendengar
hal-hal yang baik, benar, bagus – diproses otak untuk menghasilkan produk unggulan, jujur dan dapat dijadikan
modal.
Agaknya, kata ahli yang kelamaan tidak menekuni keahliannya. Ternyata jika
dengan publik, kuping kurang familiar, kurang sreg bahkan terasa asing atau
bahasa asing. Tidak umum. Lebih terstruktur dengan asupan kata ‘rakyat’ dan
seklasnya. Dikaitkan dengan ruang publik, agak menyentuh memori khazanah.
Masuk ke lema ‘aman’. Sebagai kata dasar, kata awal, menghasilkan atau
saudar dekat dari lema: amanah, amanat, nyaman, zaman, amandemen. Bahasa Jawa
tak mau kalah, walau cuma selangkah. Lebih jujur, lugas, lugu menjelaskan
keterkaitan langsung antara kata ‘aman’ dengan kata ‘gaman’, ‘gegaman’. Jangan lupa, bahasa Jawa ada tingkatan penggunaan.
Bahasa tubuh menguatkan penjiwaan saat dialog, diskusi, debat dengan berbahasa
Jawa sesuai kasta lawan bicara.
Sejarah peradaban membuktikan. Bahwa tata niaga rasa aman, dimulai dari
yang privat, pribadi, individual, internal dan sebutan lain sampai ke hal yang
bernada umum, terbuka, bersama.
Kembali ke “Kamus Indonesia – Jawa Kuno”, Depdikbud 1992, fokus, khusus
pada:
aman a ksema; nirbhaya; nirupadrawa; – sentosa krta:
keamanan abhaya; mencari – angabhaya
amanat,n pitungkas; sasana; tuwawa;
ubhayasanmata.
bahaya n banggi; bhanggi; bhaya; droha; utpata; – dan
bencana maropadrawe; – di jalan margabhaya; yang berbabaya wibhisana
bebas a anasrita; asambadha; mokta; mukta; mukti;
nirmukta; parihara; wimukta;
wimukti; – dari takut wigatabhaya;
Berakhir pada lema:
kawal v pengawal adhaka; alas; anggapariraksa;
anggaraksa; pangalasan; pariwara; – pribadi
adhikabhayangkari; anggarasa(ka); bhayangkara; bhayangkara; – pribadi terbaik
pratyadhiraksana.
Kamus bahasa saja secara tak sengaja malah membuktikan. Singkat kata tapi
bukan simpul. Bahwasanya jika ada ikhwal ‘bela negara’, rasanya jauh dari fakta
‘bela juragan’, ‘bela majikan’ alias petugas kawal berkewajiban mengkawal
pihak, oknum yang memberi makan.
Padahal, kata wong Jawa, sopo
sing nyekel gaman, gegaman, ngroso dhuwé panguwasa sing gedhé. Ketoke cedhak
karo rakyat. Nanging sejatiné malah wewenangé kanggo: tembak di tempat, gebuk di tempat.
Akhirnya, di keluarga, di rumah tinggal sendiri, di lingkungan tempat
tinggal, di jalanan, di tempat kerja atau tujuan. Sigap, siaga, siap, sedia
menjadi obyek tilang. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar