Halaman

Senin, 08 Juli 2019

budidaya daya primitif, kemana saja jalan kaki


budidaya daya primitif, kemana saja jalan kaki

Pulang dari mempraktikkan daya belanja. Jalan cepat seperti lazimnya hidup sehat. Di dalam kompleks, pakai gaya zig-zag. Menambah jarak tempuh dan banyak langkah. Menghindari polusi motor yang menyalip, tanpa peduli rambu. Misi tambahan mencari kerikil, batu bulat plus suku cadang yang layak serep.

Pas di jalan berlawanan arah. Ada motor menyalip dengan nada bak motor bodong. Sebatas mata memandang, ybs berhenti di depan rumah yang pernah direnovasi. Premotor bapak-bapak. Seperti ada yang ditunggu, bukan langsung masuk halaman. Pintu pagar tak tertutup.

Asumsi dalam hati tidak meleset. Pas saya liwat, tanpa basa-basi atau basi ala kadarnya. Langsung bilang sambil senyum seadanya. “Bapak kemana-mana jalan. Bukan hobi jalan-jalan. Pernah saya ajak mbonceng, tidak mau”.

Ada sedikit tukar kata. Demikianlah tuntutan usia untuk jaga raga, tetap bugar sesuai umur. Beliau juga tanya umurku. Tak jauh selisih. Hanya geleng kepala. Bukan berarti kagum. Bahasa tubuh zaman sekarang susah ditebak.

Sambil melangkah masuk, “koq bapak tidak pakai mobil . . . Atau tunggu taksi”. Saya jawab selorohnya. “mau naik pesawat, jarang yang liwat . . . “. Pembicaran diakhiri dengan senyum, lanjut sibuk masing-masing.

Selang berapa hari. Masih dengan tema ‘jalan kaki’. Aktivis lingkungan yang domisili lain RT. Sambil duduk jejer beliau seperti menganalisa.

:Bapak kalau jalan cepat, menunduk. Tak lihat kanan kiri”. Saya hanya diam mengiakan.

Lanjut ujar belaiu. “Banyak yang menyapa bapak. Warga atau jamaah masjid”. “Tapi . . . “, sepertinya beliau ragu. Lihat saya hanya senyum, muncul semangat kemitraan.

“Bapak jarang menyapa orang, paling cuma sapa tangan. Tidak tanya ‘sedang apa’”. Begitulah sekelumit bincang santai tapi berisi bagi saya. Sebagai gambaran bagaimana saya. Sudah ciri dan bukannya tak mau berubah. Memantapkan gaya jalan. Gaya busana tetap. Namanya karakter diri.

Ironis binti miris, warga satu RT, malah tidak tahu perihal ‘kemana saja jalan kaki’. Tahunya keluar rumah. Pertanyaan rutin, tipikal, berulang “Mau kemana?” atau sebaliknya “Dari mana?”. Hanya satu orang yang cuek, yaitu maksudnya orang gila, gangguan kejiwaan. Tapi masih doyan nasi. Tahu rokok, mau kopi. Tak pandang warna jenis kelamin. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar