ketika nasgor
dipanggil sireng
Bukan
karena faktor U, maka daripada itu seorang generasi pra-proklmasi. Lahir tahun
1931/1932. Secara alami mempertahankan, melestarikan adat yang sudah melekat di
sekujur tubuh. Bisa-bisa sampai akhir hayat.
Pernah di
tempa sebagai anggota Brimob. Bugar raga memang beda dengan seusia dari
kalangan sipil. Kendati karena zamannya, tidak sempat makan bangku pendidikan
tinggi. Bekal ilmu agama Islam menjadikan dirinya sebagai manusia.
Tinggal
di perumahan yang ada fasilitas untuk Asabri. Sesama Asabri sudah banyak yang
pindah ke akhirat. Kebanyakan karena dimakan umur. Merasa butuh hidup karena
masih mempunyai tangung anak mantu cucu di rumahnya.
Soal menu
harian. Biasa mandiri atau terlatih masak sendiri. Pulang dari ambil pensiun,
menenteng beras dan kelengkapan cikal bakal pengganjal perut. Nasi uduk menjadi
menu sarapan, dibeli dari warung terdekat. usaha keluarga yang sesama Pepabri.
Beliau terkadang
keluar siang naik motor. Tanpa helm, yakin diri jika ada operasi motor. Surat komplit
dan motor masih lengkap, utuh. Soal tak taat aturan pakai helm, punya dalih
memberatkan kepala. Soal punya kartu anggota, soal lain.
Perut tua
memang susah diajak kompromi. Ada saja irama keroncong-an. Mbok bakul jamu
bersepeda, jika liwat pasti panggil namanya. Menggunakan kesempatan saat anak
atau cucu panggil penjaja makanan. Sesekali
ngiras di gerobak soto mie Bogor.
Malam hari,
modal HP bisa kontak dengan penjual nasi goreng. Masalahnya, cuma ada 2 (dua)
penjual nasi goreng yang jelajahnya sampai kompleks beliau. Maklum dearah
belakang. Sibuknya sang penjual karena tidak hanya melayani satu rumah dengan
satu pesanan. Bisa satu orang pesan nasi goring dan mi rebus. Malah satu
keluarga, semua pesan.
Akhirnya,
pada jam tidur manula, sang penjual baru liwat. Itupun kalau tak terbajak rumah
tempat nongkrong warga.
Mau tak
mau, sang Pepabri sigap diri di teras rumahnya. Begitu terdengar suara wajan
dipukul, pratanda gerobak akan liwat. Langsung bangkit merapikan sarung. Kepala
toleh ke kanan dan ke kiri, ngecek asal suara.
Namanya
jam tidur. Pas mulai adegan mimpi, tukang nasi goreng liwat depan rumahnya. Tanpa
basa basi. Sang Pepabri sigap bangun keluar kamar tamu, di teras teriak sambil
keplok; “sigor . . . sigor . . . “. Bukan
karena sudah jauh. Kuping abang nasgor merasa asing, aneh dengan panggilan yang
tidak standar. Tetap mendorong atau menarik gerobaknya. Beruntung jika ada
tetangga membantu teriakan atau mengingatkan abang nasgor. Ada yang butuh
bantuan dan kebaikan hatinya.
Akhir olahkata.
Terjadilah kesepakatan bahwa sireng sebutan sang Pepabri saat mukim di asrama. Sekarang
oleh pedagang atau warung, dikenal dengan istilah nasgor. Ketika ditanya: “Sedang
atau pedas . . ?”. Sang Pepabri menjawab tegas; “cabai
tiga!”, sambil menunjukkan 3 jari tangan kanan. Termasuk aba-aba cabai sebesar
jarinya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar