Halaman

Kamis, 25 Juli 2019

ketika nasgor dipanggil sireng


ketika nasgor dipanggil sireng

Bukan karena faktor U, maka daripada itu seorang generasi pra-proklmasi. Lahir tahun 1931/1932. Secara alami mempertahankan, melestarikan adat yang sudah melekat di sekujur tubuh. Bisa-bisa sampai akhir hayat.

Pernah di tempa sebagai anggota Brimob. Bugar raga memang beda dengan seusia dari kalangan sipil. Kendati karena zamannya, tidak sempat makan bangku pendidikan tinggi. Bekal ilmu agama Islam menjadikan dirinya sebagai manusia.

Tinggal di perumahan yang ada fasilitas untuk Asabri. Sesama Asabri sudah banyak yang pindah ke akhirat. Kebanyakan karena dimakan umur. Merasa butuh hidup karena masih mempunyai tangung anak mantu cucu di rumahnya.

Soal menu harian. Biasa mandiri atau terlatih masak sendiri. Pulang dari ambil pensiun, menenteng beras dan kelengkapan cikal bakal pengganjal perut. Nasi uduk menjadi menu sarapan, dibeli dari warung terdekat. usaha keluarga yang sesama Pepabri.

Beliau terkadang keluar siang naik motor. Tanpa helm, yakin diri jika ada operasi motor. Surat komplit dan motor masih lengkap, utuh. Soal tak taat aturan pakai helm, punya dalih memberatkan kepala. Soal punya kartu anggota, soal lain.

Perut tua memang susah diajak kompromi. Ada saja irama keroncong-an. Mbok bakul jamu bersepeda, jika liwat pasti panggil namanya. Menggunakan kesempatan saat anak atau cucu panggil penjaja makanan.  Sesekali ngiras di gerobak soto mie Bogor.

Malam hari, modal HP bisa kontak dengan penjual nasi goreng. Masalahnya, cuma ada 2 (dua) penjual nasi goreng yang jelajahnya sampai kompleks beliau. Maklum dearah belakang. Sibuknya sang penjual karena tidak hanya melayani satu rumah dengan satu pesanan. Bisa satu orang pesan nasi goring dan mi rebus. Malah satu keluarga, semua pesan.

Akhirnya, pada jam tidur manula, sang penjual baru liwat. Itupun kalau tak terbajak rumah tempat nongkrong warga.

Mau tak mau, sang Pepabri sigap diri di teras rumahnya. Begitu terdengar suara wajan dipukul, pratanda gerobak akan liwat. Langsung bangkit merapikan sarung. Kepala toleh ke kanan dan ke kiri, ngecek asal suara.

Namanya jam tidur. Pas mulai adegan mimpi, tukang nasi goreng liwat depan rumahnya. Tanpa basa basi. Sang Pepabri sigap bangun keluar kamar tamu, di teras teriak sambil keplok; “sigor . . . sigor . . . “.  Bukan karena sudah jauh. Kuping abang nasgor merasa asing, aneh dengan panggilan yang tidak standar. Tetap mendorong atau menarik gerobaknya. Beruntung jika ada tetangga membantu teriakan atau mengingatkan abang nasgor. Ada yang butuh bantuan dan kebaikan hatinya.

Akhir olahkata. Terjadilah kesepakatan bahwa sireng sebutan sang Pepabri saat mukim di asrama. Sekarang oleh pedagang atau warung, dikenal dengan istilah nasgor. Ketika ditanya: “Sedang atau pedas . . ?”. Sang Pepabri menjawab tegas; “cabai tiga!”, sambil menunjukkan 3 jari tangan kanan. Termasuk aba-aba cabai sebesar jarinya. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar