aneka warna ayom, kian diaduk tampak satu warna: MERAH
Bincang santai, iseng, pengisi waktu yang pasti berlalu. Masih
di koridor martabat. Tidak perlu ambil fakta resmi dari pihak penyuka
kebenaran. Pasal warna yang sudah dikenal anak liwat lagu: pelangi-pelangi. Atau
balonku ada lima. Minimal, tahu akan Dwi Warna, Merah-Putih, warna bendera
kebangsaan kita, Indonesia.
Mengapa ada manusia dan atau orang yang tidak tuna netra,
tapi buta warna. Zaman TV hitam putih. Afdruk foto hitam putih. Zebra cross
di manapun, tetap hitam putih. Begitulah kehidupan dan praktik demokrasi yang
masih terjadi di nusantara. Ironis binti miris, masih ada yang punya sepasang
mata tapi tak bisa melihat. Tapi tahu apa yang terjadi di balik tembok kamar
sebelah. Apalagi terdengar suara cicak di dinding. Diam-diam bisa lenyap.
Berkat asas berbantuan, maka daya jangkau mata telinga melampaui
standar hak pribadi. Bisa tahu yang seharusnya tidak boleh diketahuinya. Tidak ada
pasal larangan. Kalau ada. Yang membuat yang melanggar. Hukumnya ilmu hukum.
Warna alam menjadi dasar hadirnya warna-warni. Saking banyaknya,
susah menetapkan nama warma. Lebih heboh lagi, warna dasar sudah susah
diketahui. Warna dasar atau akar warna, sebelum mendapat awalan, sisipan,
akhiran.
Lazimnya penemuan. Diketemukan warna baru secara tak
sengaja. Tanpa niat aksi penelitian, penyidikan, penyelidikan. Tapi bukan serba
kebetulan. Atau tanpa unsur tak sengaja. Warna dominan dibenturkan untuk
menjaga wibawa warna tertentu. Agar dapat lanjut mewarnai nusantara dengan warna
merah.
Warna coklat tanah, coklat kayu diadu – bukan diaduk –
dengan warna hijau daun, hijau rumput. Mau-maunya yang dijadikan ayam aduan. Mendapat
bintang paripurna, puncak karier. Ini politik Bung !!! [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar