Halaman

Jumat, 21 Desember 2018

tampang lokal sarat ideologi global


tampang lokal sarat ideologi global

Semenjak anak bangsa Nusantara tahu dan kenal partai politik. Émansipasi utawa persamaan hak antara kaum hawa, wanita, perempuan dengan kaum pria, lelaki sudah sejajar, sederajat. Sama-sama punya hak duduk di kursi penyelenggara negara. Kuota perempuan menjadi pasal dinamis. Peluang emas bukan untuk anak emas saja.

Di tarik mulur mundur. Sibuk atau sok sibuk di industri politik bukan pasal tabu. Sisi lain dari wanita kariér. Hebohnya, periode 1999-2004 terdapat wapres kedelapan RI dan sekaligus naik jadi presiden kelima RI adalah wanita. Prestis jabatan ketua umum partai politik yang berhak tiket terusan mencapreskan diri. Mulai 2004, RI-1 dan RI-2 dipilih langsung oleh rakyat.

Kehendak sejarah yang tak terelakkan. Benang merah perjuangan politik di jaman penjajahan sampai tulisan ini diolahkatakan, tampak permainan warna merah. Menu ‘nasakom’ rakitan presiden pertama RI, beradaptasi senyap. Ideologi tak ada matinya. Anak cucu ideologis tak ada kapoknya. Merahnya Merah-Putih kian kentara, membara ujung-ujungnya dan ujung pangkalnya.

Muncul raut muka dibuat sayu, kemayu kurang bumbu. Merasa dizalimi. Jual isak tangis dan merasa pandai. Inginnya disanjung. Kelamaan menunggu akhirnya memuja memuji diri sendiri. Jender lain dengan tampang kuyu. Jual suara menghiba-hiba merasa mampu menjadi nomer satu di Nusantara. Tiket utama di tangan menjadi beban bara berganda. Loyalitas semu.

Kehidupan politik bukan sulap, bukan sihir kendati penuh tipu-tipu. Ada yang semakin tersipu-sipu. Ada yang serba mau. Pengarusutamaan jender melahirkan watak serakah politik. Bukan juga. Kode etik politik serakah begitu bunyinya. Tak pakai lama, tak perlu antri atau merintis muali dari nol. Tumpukkan keringat leluhur melicinkan langkah politik.

Indonesia terbuka ramah, bagian utama pasar bebas dunia. Masyarakat ekonomi ASEAN melambungkan harga diri anak bangsa. Merasa global asli di atas nasionalisme. Garam dapur saja terasa asing.

Untuk menjadi juara kandang pada kompetisi, kontes ajang mencari bakat kepala negara. Mengandalkan jurus lokal, akan keok sebelum laga. Hembusan angin ditepis penuh gaya. Kritikan digubris dengan emosi lokal. Mana urusan negara, mana sebagi petugas partai, bingunglah si dia. Dalang cuma senyum puas.

Dalil rékonsiliasi diterapkan secara konstitusional. Dalih kemajemukkan, pluralisme  menjadi taruhan bangsa dan negara. Keberagaman keanekaragaman, keseragaman atau aksi ragam lainnya menjadikan NKRI kian terbuka, tanpa filter, saringan, karantina. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar