tampang lokal sarat ideologi global
Semenjak anak bangsa Nusantara
tahu dan kenal partai politik. Émansipasi utawa persamaan hak antara kaum hawa,
wanita, perempuan dengan kaum pria, lelaki sudah sejajar, sederajat. Sama-sama
punya hak duduk di kursi penyelenggara negara. Kuota perempuan menjadi pasal
dinamis. Peluang emas bukan untuk anak emas saja.
Di tarik mulur mundur. Sibuk atau
sok sibuk di industri politik bukan pasal tabu. Sisi lain dari wanita kariér. Hebohnya,
periode 1999-2004 terdapat wapres kedelapan RI dan sekaligus naik jadi presiden
kelima RI adalah wanita. Prestis jabatan ketua umum partai politik yang berhak tiket
terusan mencapreskan diri. Mulai 2004, RI-1 dan RI-2 dipilih langsung oleh
rakyat.
Kehendak sejarah yang tak
terelakkan. Benang merah perjuangan politik di jaman penjajahan sampai tulisan
ini diolahkatakan, tampak permainan warna merah. Menu ‘nasakom’ rakitan
presiden pertama RI, beradaptasi senyap. Ideologi tak ada matinya. Anak cucu
ideologis tak ada kapoknya. Merahnya Merah-Putih kian kentara, membara
ujung-ujungnya dan ujung pangkalnya.
Muncul raut muka dibuat sayu,
kemayu kurang bumbu. Merasa dizalimi. Jual isak tangis dan merasa pandai. Inginnya
disanjung. Kelamaan menunggu akhirnya memuja memuji diri sendiri. Jender lain
dengan tampang kuyu. Jual suara menghiba-hiba merasa mampu menjadi nomer satu
di Nusantara. Tiket utama di tangan menjadi beban bara berganda. Loyalitas semu.
Kehidupan politik bukan sulap,
bukan sihir kendati penuh tipu-tipu. Ada yang semakin tersipu-sipu. Ada yang
serba mau. Pengarusutamaan jender melahirkan watak serakah politik. Bukan juga.
Kode etik politik serakah begitu bunyinya. Tak pakai lama, tak perlu antri atau
merintis muali dari nol. Tumpukkan keringat leluhur melicinkan langkah politik.
Indonesia terbuka ramah, bagian
utama pasar bebas dunia. Masyarakat ekonomi ASEAN melambungkan harga diri anak
bangsa. Merasa global asli di atas nasionalisme. Garam dapur saja terasa asing.
Untuk menjadi juara kandang pada kompetisi,
kontes ajang mencari bakat kepala negara. Mengandalkan jurus lokal, akan keok
sebelum laga. Hembusan angin ditepis penuh gaya. Kritikan digubris dengan emosi
lokal. Mana urusan negara, mana sebagi petugas partai, bingunglah si dia. Dalang
cuma senyum puas.
Dalil rékonsiliasi diterapkan
secara konstitusional. Dalih kemajemukkan, pluralisme menjadi taruhan bangsa dan negara. Keberagaman
keanekaragaman, keseragaman atau aksi ragam lainnya menjadikan NKRI kian
terbuka, tanpa filter, saringan, karantina. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar