kawanan loyalis penguasa
si panjang (t)angan
Norma kolektif bangsa atau bentuk lain persatuan Indonesia kian terurai. Anak
bangsa pribumi yang jelas tulén tanpa oplosan ideologi kamar sebelah, rawan
sentuhan ringan. Telinga gatal jika sehari tak dengar kata sanjungan,
puja-puji. Sebaliknya, mulut terasa pengap jika tak menghujat, menjilat.
Rasa peduli penguasa atau pucuk pimpinan negara bisa dibuktikan dengan rasa
gelisah jika garam dapur rakyat tak lagi asin. Semakin resah jika karakter
rakyat yang tahan lapar, harus antri beras. Tak peduli jika sampah rumah tangga
sebagai penyumbang utama sampah plastik. Menyemarakkan tol laut yang mana
dimana akhirnya sampah plastik rumah tangga mengalir ke laut bebas.
Kemampuan mengolah informasi dan data lapangan, sedemikan terstruktur. Satu
fakta dengan aneka bukti otentik, orisinal, meyakinkan serta saling meniadakan
nilai kebenaran. Satu kejadian perkara bisa menumbuhkembangkan kemajuan
berpikir.
Hebatnya sang penguasa, sempat-sempatnya menjawab semua pertanyaan pernyataan.
Rinci dan runtun sesuai alunan emosi diri. Tak heran, jika kalender Nusantara
dipenuhi hari peringatan. Bukan hari libur nasional. Menjadi agenda kenegaraan
sebagai bukti kinerja, sibuk berkarya. Tak sempat dengar ocehan. Telinga kebal
kritik. Pokoknya, maju terus bak pakai kacamata kuda.
Kewajiban blusukan ke tiap kabupaten/kota bisa menghabiskan waktu satu
periode. Saking jeli, peduli akan daya endusnya, daya lacaknya sampai tahu
berapa uang Rp yang parkir di negara sahabat. Mengendap tapi bukan
mengendap-endap menyusaikan diri dengan nilai tukar setempat. Tak ada kaitan
dengan daya tarik biaya politik.
Daya jangkau ketahanan penguasa sudah teruji sebatas wilayah pulau Jawa. Bencana
yang terjadi di wilayah administrasi pulau Jawa malah menjadi propaganda
politik. Dikelola dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Awal periode SBY-JK diuji dengan tsunami Aceh. Akhir periode
Jokowi-JK di(p)uji dengan kasus Papua. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar