Halaman

Selasa, 04 Desember 2018

radikal abal-abal vs pagar tanpa pagar

radikal abal-abal vs pagar tanpa pagar

Setiap manusia Indonesia berhal dan berhak atas kerja layak dan hidup layak. Oleh karena itu pemerintah mencetak atau merestui partai politik. Indonesia menjadi negara multipartai. Di atas kertas, parpol sebagai lapangan kerja yang bisa buka kantor sampai tingkat desa, kelurahan atau sebutan lain. Akhirnya, tenaga kerja partai bisa meraih strata hidup layak secara normatif.

Marginalisasi yang diterima oleh pemikiran marginalisasi ialah marginalisasi yang dikenakan, diterapkan, dilakukan oleh sesuatu pihak terhadap pihak yang lain. Praktik marginalisasi terselubung yang laku di Nusantara ialah marginalisasi terhadap lawan politik, pihak yang berseberangan, oposisi tulen.

Betapa kehidupan layak sebuah partai politik butuh dukungan peran langsung, tindak turun tangan atau minimal skenario dari manusia ekonomi. Antar parpol, apalagi dengan praktik koalisi, semakin menunjukkan manusia politik sebagai pemangsa segala.

Kawanan loyalis pendukung penguasa, jika perut sudah dikenyangkan, tak ayal akan selalu setia siap siaga sigap bela tuan, majikan, juragan. Baru urusan perut, belum yang bawah perut. Apalagi jika karir bisa melejit menyalip tanpa antrian.

Kemungkinan marginalisasi politik menjadi modus utama kepada sesuatu pihak, bentuk lain dari pola diskriminasi.  Bukan sekedar gagal pasar mengendalikan sentimen negatif.  Bukti alergi, antipasti, gamang pemerintah terhadap fakta lapangan.

Iseng kita luaskan wawasan model marginalisasi, secara umum  berupa:
Pertama, pihak yang dipinggirkan sadar diri dan merasakan efek dominonya. Tak mampu ikut arus apalagi melawan arus. Ingin mentas tapi tangan salah gapai. Yang pokok tetap masuk barisan atau di bawah bayang-bayang penguasa.
Kedua, pihak yang dipinggirkan tidak sadar bahwa mereka telah dipinggirkan oleh sistem. Malah merasa diperhatikan, daripada main sendiri. Marginalisasi terus lanjut tanpa batas atau margin tepi.
Ketiga, pihak yang dipinggirkan sadar bahwa mereka telah dipinggirkan secara menerus. Tabiat dasar  tetap menerima nasib marginalisasi sebagai standar layak hidup vs hidup layak versi lokal.

Mengacu teori permanent underclass, golongan yang marginal ternyata ialah mereka (kelompok masyarakat, organisasi kemasyarakaant, komunitas sekte) yang menyimpang dari aspek moral dan norma budaya masyarakat. Nyaris tipikal budaya miskin aneka aspek.

Oleh karena itu, kemiskinan yang ditekuni sebagai jati diri berbasis budaya kekekrabatan. Diskriminasi yang dialami secara alami bukan karena kurang ilmu dunia. Mereka kurang akses lagi sempit wawasan. Hidup di bawah tempurung politik. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar