radikal abal-abal vs pagar tanpa pagar
Setiap manusia Indonesia berhal
dan berhak atas kerja layak dan hidup layak. Oleh karena itu pemerintah
mencetak atau merestui partai politik. Indonesia menjadi negara multipartai. Di
atas kertas, parpol sebagai lapangan kerja yang bisa buka kantor sampai tingkat
desa, kelurahan atau sebutan lain. Akhirnya, tenaga kerja partai bisa meraih
strata hidup layak secara normatif.
Marginalisasi yang diterima oleh
pemikiran marginalisasi ialah marginalisasi yang dikenakan, diterapkan,
dilakukan oleh sesuatu pihak terhadap pihak yang lain. Praktik marginalisasi terselubung
yang laku di Nusantara ialah marginalisasi terhadap lawan politik, pihak yang
berseberangan, oposisi tulen.
Betapa kehidupan layak sebuah partai
politik butuh dukungan peran langsung, tindak turun tangan atau minimal
skenario dari manusia ekonomi. Antar parpol, apalagi dengan praktik koalisi,
semakin menunjukkan manusia politik sebagai pemangsa segala.
Kawanan loyalis pendukung penguasa,
jika perut sudah dikenyangkan, tak ayal akan selalu setia siap siaga sigap bela
tuan, majikan, juragan. Baru urusan perut, belum yang bawah perut. Apalagi jika
karir bisa melejit menyalip tanpa antrian.
Kemungkinan marginalisasi politik menjadi
modus utama kepada sesuatu pihak, bentuk lain dari pola diskriminasi. Bukan sekedar gagal pasar mengendalikan sentimen
negatif. Bukti alergi, antipasti, gamang
pemerintah terhadap fakta lapangan.
Iseng kita luaskan wawasan model
marginalisasi, secara umum berupa:
Pertama, pihak yang dipinggirkan
sadar diri dan merasakan efek dominonya. Tak mampu ikut arus apalagi melawan
arus. Ingin mentas tapi tangan salah gapai. Yang pokok tetap masuk barisan atau
di bawah bayang-bayang penguasa.
Kedua, pihak yang dipinggirkan
tidak sadar bahwa mereka telah dipinggirkan oleh sistem. Malah merasa
diperhatikan, daripada main sendiri. Marginalisasi terus lanjut tanpa batas
atau margin tepi.
Ketiga, pihak yang dipinggirkan
sadar bahwa mereka telah dipinggirkan secara menerus. Tabiat dasar tetap menerima nasib marginalisasi sebagai standar
layak hidup vs hidup layak versi lokal.
Mengacu teori permanent underclass, golongan yang marginal ternyata ialah mereka (kelompok
masyarakat, organisasi kemasyarakaant, komunitas sekte) yang menyimpang dari
aspek moral dan norma budaya masyarakat. Nyaris tipikal budaya miskin aneka
aspek.
Oleh karena itu, kemiskinan yang ditekuni
sebagai jati diri berbasis budaya kekekrabatan. Diskriminasi yang dialami secara
alami bukan karena kurang ilmu dunia. Mereka kurang akses lagi sempit wawasan. Hidup
di bawah tempurung politik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar