hukum
rimba di belantara syahwat politik Nusantara
Kalau memang demikan adanya, biarkan saja. Jangan
sampai kita jadi korban sia-sia. Sebagai rakyat yang cinta tanah air, jelas tak
boleh berpangku tangan. Minimal dalam hati mengetahui dan mengakui. Demi keamanan
diri, keluarga tetap berjuang dalam senyap.
Karena pertanggungjawaban bukan pada pelaku saja. Pasal
pembiaran, pura-pura tak tahu, tidak mau tahu. Asal bukan cari aman sampai
malah ke tabiat cari muka.
Paribasan Jawa,
begini tulisannya : si gèdhèg lan si anthuk. Maksudnya adalah, wong loro kang
wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan; wong-wong sing padha sekongkol.
Tidak perlu risau.
Semua kejadian perkara berbasis persekongkolan hanya terjadi di sebuah kerajaan
yang juga hanya ada di dunia pewayangan. Banyak versi memang karena sudah
universal, mendunia. Sekedar cerita atau dongèng.
Seangker-angkernya hutan atau sebutan lainnya, masih kalah keramat, wingit
dengan istana tempat tinggal raja hutan.
Karena istana adalah simbol kekuasaan penguasa yang diperoleh secara
konstitusional, demokratis. Baik-buruk, benar-salah, ditentukan suara
mayoritas.
Konon, fitnah politik yang sebagai hak prerogatif penguasa, merupakan
sinerji dari fitnah tahta, fitnah harta, dan fitnah jelita. Yang terakhir
disebut bukan untuk mendiskreditkan kaum hawa, perempuan, wanita. Emansipasi
politik wanita malah menjerumuskan penganutnya ke kubangan politik yang serba
aneh, asing, ajaib.
Agar tak asing, berdaya saing, berwatak singa, ahli mengais rezeki. Melahirkan pahlawan kesiangan.
Pihak yang diharapkan mengawal jalannya demokrasi,
agar demokrasi berjalan dengan aman dan damai, malah menjadi biang onar. Akibat
dekat-dekat dengan meja penguasa. Wajar, karena jabatan di dapat secara
politis. Berkat masuk perhitungan atau kalkulasi politik penguasa. Atau mereka
yang mendapat berkah karena rajin bertandang di balik pintu penguasa. Yang
merupakan sumber dari segala sumber. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar