serakah politik, musibah bangsa
Kejadian perkara di muka bumi,
seolah berdiri sendiri. Maunya situ, maunya sini. Enak di kamu, tak enak di
saya. Seolah tak ada hubungan diplomatik, timbal balik, dua arah maupun sebab
akibat. Proses kehidupan memang linier sesuai dengan perjalanan waktu.
Siklus hidup harian, 24 jam, apa
yang terjadi hari ini akan mempengaruhi dan atau akan menentukan kejadian besok
hari. Umat Islam dianjurkan untuk selalu memperbaharui, meningkatkan taqwa. Anjuran
tiap jumat, disampaikan oleh khotib.
Mata rantai kehidupan, semisal
terjadinya hujan. Atau bagaimana makanan yang masuk ke dalam perut manusia. Artinya,
hasil olah pangan yang secara tak langsung memanfaatkan tinja. Pelapukan sampah
organis menjadi tanah atau pupuk alam.
Bagaimana generasi berikut tampak
lebih. Perpaduan dua keluarga besar, latar belakang yang sama tapi tak serupa. Mempertimbangkan
faktor: babat, bibit, bobot, bebet bibit, akan melahirkan kombinasi, sinerji.
Polusi udara bukan sekedar komposisi
kimiawi yang tak wajar. Alam merekam aneka suara yang keluar dari mulut
manusia. Menyelimuti permukaan bumi. Ibarat membuang sampah sembarangan atau
disembarang tempat. Akumulasi dampak berupa teguran alam.
Kebakaran hutan dan lahan atau
karhutla, mampu menjadikan RI sebagai eksportir asap gratis ke negara tetangga.
Sampah rumah tangga, khususnya berbahan baku plastik, akhirnya ke laut. Mengganggu
kelancaran tol laut.
Bayangkan jika manusia politik yang
secara persentase terhadap populasi, relatif kecil. Namun efek domino daya
ucap, gaya laku mampu menentukan nasib bangsa. Semasa Orde Baru hanya ada tiga
organisasi politik. Proyek kuningisasi atau atas kehendak rakyat.
Negara multipartai kian memberi
peluang bagi petualang politik untuk mengacak-acak Nusantara secara
konstitusional, legal, yuridis formal. Tampang kriminal, wajah sangar bukan hak
milik penjahat jalanan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar