Halaman

Sabtu, 29 Desember 2018

serakah politik, musibah bangsa


serakah politik, musibah bangsa

Kejadian perkara di muka bumi, seolah berdiri sendiri. Maunya situ, maunya sini. Enak di kamu, tak enak di saya. Seolah tak ada hubungan diplomatik, timbal balik, dua arah maupun sebab akibat. Proses kehidupan memang linier sesuai dengan perjalanan waktu.

Siklus hidup harian, 24 jam, apa yang terjadi hari ini akan mempengaruhi dan atau akan menentukan kejadian besok hari. Umat Islam dianjurkan untuk selalu memperbaharui, meningkatkan taqwa. Anjuran tiap jumat, disampaikan oleh khotib.

Mata rantai kehidupan, semisal terjadinya hujan. Atau bagaimana makanan yang masuk ke dalam perut manusia. Artinya, hasil olah pangan yang secara tak langsung memanfaatkan tinja. Pelapukan sampah organis menjadi tanah atau pupuk alam.

Bagaimana generasi berikut tampak lebih. Perpaduan dua keluarga besar, latar belakang yang sama tapi tak serupa. Mempertimbangkan faktor: babat, bibit, bobot, bebet bibit, akan melahirkan kombinasi, sinerji.

Polusi udara bukan sekedar komposisi kimiawi yang tak wajar. Alam merekam aneka suara yang keluar dari mulut manusia. Menyelimuti permukaan bumi. Ibarat membuang sampah sembarangan atau disembarang tempat. Akumulasi dampak berupa teguran alam.

Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla, mampu menjadikan RI sebagai eksportir asap gratis ke negara tetangga. Sampah rumah tangga, khususnya berbahan baku plastik, akhirnya ke laut. Mengganggu kelancaran tol laut.

Bayangkan jika manusia politik yang secara persentase terhadap populasi, relatif kecil. Namun efek domino daya ucap, gaya laku mampu menentukan nasib bangsa. Semasa Orde Baru hanya ada tiga organisasi politik. Proyek kuningisasi atau atas kehendak rakyat.

Negara multipartai kian memberi peluang bagi petualang politik untuk mengacak-acak Nusantara secara konstitusional, legal, yuridis formal. Tampang kriminal, wajah sangar bukan hak milik penjahat jalanan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar