révitalisasi moral Pancasila,
daur ulang vs isi ulang
Struktur piramida bentuk dan praktik demokrasi di
NKRI, tak akan lepas dari efek domino. Rakyat menerima beban merata, tepatnya
sebagai pendukung total, loyal NKRI. Kapasitas provinsi, demografi dan sebaran
populasi, negara kepulauan, géopolitik, menjadi beban dinamis.
Setiap pemerintah atau presiden dengan laku politik
yang tipikal. Betapa pihak yang semakin jauh dari rakyat, akan berbanding lurus
dengan lunturnya nilai-nilai Pancasila. Terasa di bagian puncak piramida atau pada
kelompok (hirarki rakyat, klas masyarakat, kasta penduduk, kategori keluarga,
strata sosial, atau klasifikasi warga negara) atas ke puncak.
Daya rekat Pancasila masih ada di kehidupan
sehari-hari rakyat. Belum terpapar, tercemar, terkontaminasi kuman (partai)
politik. Di lain pasal, ternyata daya retak Pancasila menjadi hak milik
penguasa, pejabat, penyelenggara negara di semua tingkatan dan lini.
Menghidupkan kembali nilai dan tafsir Pancasila,
cukup dengan mengisi ulang energi, emosi rakyat. Menjaga stabilitas dan daya
tahan rakyat. Kalau rakyat membludak nasib kurang beruntungnya, termarginalkan
secara sistematis, formal, menerus, sejarah kebangkitan akan berulang.
Daur ulang Pancasila ke penguasa. Karakter penyelenggara
negara yang berifat jaga jarak dengan fakta, atau alergi dengan kritik, butuh menu khusus
Pancasila buat penguasa. Tak salah, kalau Pancasila didudukan, diposisikan
secara formal kenegaraan. Bukan sekedar alih
wacana atau sebagai syarat administrasi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar