tinggal doa rakyat yang
tak dapat dimanipulasi
Gema suara
bedug, pratanda alih antar waktu sholat. Terasa sebagai pengingat. Waktu dzuhur,
agar manusia istirahat sejenak. Matahari menyengat di atas ubun-ubun. Pekerjaan
dikebut, tanggung. Jelang ashar. Siap pergantian malaikat penjaga, aplusan.
Secara individu maupun berjamaah di surau, di
langgar, di musholla. Doa dalam hati maupun yang terucap santun, lirih. Tanpa alamat.
Ditujukan kepada untuk bangsa. Agar negara selamat dari angkara. Jauh bebas
dari watak durjana penguasa. Merdeka dan mandiri hingga urusan dapur.
Di pihak lain, bukan di daerah tertinggal,
terdepan, terluar. Muncul karakter anak bangsa yang seolah terpendam lama. Nyaris
serentak, melalui format olok-olok politik. Bukan sekedar korban iklan. Penggunaan
jasa TIK tanpa ilmu dan rasa. Generasi ujung jari menghasilkan nista diri.
Keluarga Indonesia yang melaju mampu menembus dan
masuk batas orang kaya tingkat ASEAN. Yang kurang beruntung masih mengantongi
daya belanja sesuai asas ekonomi sehari.
Ketika secara tak sengaja tiap hari menatap langit.
Merasa terik atau mendung. Tak terbaca bahasa langit. Tak curiga ada sinyal
dari langit. Terbuai bahasa politik. Adu nyali di tahun politik 2019 atau babak
akhir periode 2014-2019. Bumi tanpa ingkar menterjemahkan bahasa langit. Isi bumi
ikut bicara mengingatkan manusia.
Praktik doa rakyat menerus 24 jam. Sambung menyambung tanpa
dapat dibendung. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar