kréativitas Indonesia
bertutur, tanpa kata vs tanpa makna
Olok-olok politik yang diujarbebaskan oleh kawanan loyalis penguasa sudah
melampaui daya citra budaya bangsa. Tidak perlu heran. Keluar dari mulut maupun
kentut sama bahan bakunya. Rilis BPS, pendidikan formal PAUD 10 tahun. Ahli mewarnai,
menyanyi sambil tepuk segala tepuk. Agak cerdas, mampu melipat kertas atau
dongeng imajinatif.
Hukum alam, keseimbangan maupun tambal sulam. Loyalitas penguasa di negara masih,
sedang, selalu, akan berkembang, jelas tidak kembang kempis. Kacamata kuda
sebagai langkah awal. Antara menghujat dan menjilat sama saja. Nyaris tak bisa
dibedakan mana jender yang emansipatif. Wadah aspiratif untuk semua ukuran
jenis kelamin. Tak pandang berbulu atau klimis.
Argo ujaran menunjukkan jam terbang sebagai anak didik. Komposisi atau
kandungan bahan baku lokal menjadi tolok ukur. Demam batu akik merasuki semua
kasta daya pikir, strata olah otak, klas tata nalar. Bahasa ibu masih dipertahankan.
Melihat istana presiden, gambarnya, sudah merasa menjadi bagian penting. Modal untuk
berkacak pinggang di atas rata-rata ukuran pinggang nasional.
Tong melompong semakin sumbang suaranya. Belum dipukul sudah menggonggong. Ekor
kian ditarik, tambah garang. Siap mencakar, mencabik-cabik yang berani
mengangkang di depannya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar