Jangan Bosan Jadi Orang Baik
Bisa
sebagai gelar, status, jabatan, derajat, pangkat, predikat atau pasal lainnya.
Apakah sebagai tujuan hidup, cita-cita atau ikhwal khusus. Tolok ukur minimal
memakai takaran norma. Kalau sesuai tataran peradaban, malah kian bias. Bukan sekedar
ramalan akan adanya fakta “becik ketampik, ala ketampa”.
Semakin
udang terbungkuk-bungkuk di balik batu, arti jarak dan waktu kian tak berarti.
Bosan menjadi
orang, mau berbuat baik malah malu, karena dianggap aneh. Berkelakuan baik dan
benar, diangap tak sesuai zaman. Contoh praktis ada di jalan. Antara pengguna
jalan dengan satuan bhayangkara penegak keadilan dan kebenaran, terjadi mufakat
untuk musyawarah. Semua pihak merasa benar. Yang menentukan kebenaran tak lain
tak bukan adalah.
Di dunia
ini memang ajang kompetisi bebas. Tak ada sekutu sampai mati kaku, tak ada seteru
sampai mati beku. Tak ada musuh hingga jenuh, tak ada kawan sampai bosan.
Satu pasang
ketetrpaduan, baik dan benar. Memakai hukum manusia, memaknai hakikat orang
baik tergantung makna diri kita sendiri. Ada pemisah berperilaku baik dengan
orang baik. Indra mata bisa tertipu penampilan, pencitraan seseorang.
Berkat menunjukkan
kelakuan dan berperilaku baik, warga binaan mendapat bonus remisi. Gradasi ‘orang baik’ bukan mulai
dari nol. Sejak lahir atau dari sono-nya
sudah punya bakat, bibit. Menjaga konsistensi lebih berat ketimbang berproses
diri menjadi atau menuju sebagai orang baik.
Penilaian
termasuk melihat tata tayang si orang baik. Tata pikir, tata tutur, tata laku
total menunjukkan totalitas orang baik. Tidak ada menjadi orang baik karena
profesi. Saat praktik beda jauh ketika di rumah. Di lingkungan dikenal sebagai
orang baik.
Salah satu
indikator sebagai orang baik adalah ketika ybs wafat, lihat banyaknya tetangga
yang melayat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar