politik Pancasila
mencekal tindak korup
Budaya KKN yang menjadi lagu wajib penyelenggara negara,
pengusaha, swasta atau pihak yang sangat berkepentingan dengan Nusantara. Efek domino
negara multipartai, maka tiap pemerintah akan uji coba pola demokrasi. ibarat
pesepakbola, bilamana perlu bisa transfer pemain. Minimal pakai ideologi asing
agar tampak lebih kinclong, mencorong.
Maka dari itu, kepekaan penguasa akan wibawa negara
sedemikian sensitif. Belang sudah jadi rahasia umum. Jangan sampai sumber resmi, asa-usul modal politik, biaya
politik menjadi bulanan-bulanan kawan sebelah kamar. Yang tak bisa ditutup-tutupi,
dikamuflase adalah bahasa tubuh, bahasa jiwa. Interaksi dengan kawan sekamar,
semakin membuktikan jati diri, pesona diri, citra diri.
Kendati korupsi
secara hukum buatan manusia dan mendunia, sudah ditetapkan sebagai kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime), maka dari itu, oleh karena ini,
dengan demikian penanganannya tidak bisa biasa-biasa saja. Apalagi, pelaku
tindak pidana korupsi (tipikor) bukan orang biasa atau rakyat pada umumnya.
Sehingga perlu kelakuan khusus. Apa daya, pedang keadilan semakin tumpul,
mandul.
Wajar jika jalan dan tegaknya hukum lebih dikarenakan
siapa yang menjadi tersangka ketimbang pasal perkara yang didakwakan. Semakin
tersangka bukan orang biasa maka ybs akan mendapatkan perlakuan luar biasa.
Mulai cepatnya persidangan sampai ikhwal fasilitas ruang tahanan. Semua bisa
diatur, seloroh dunia hukum.
Sistem wakil rakyat yang berlapis, berjenjang, menyebabkan
suara rakyat sayup-sayup sampai. Agar suara rakyat bisa bergaung, membahana,
berkumandang maka ada kebijakan agar gema
suara azan dikecilkan. Pada gilrannya akan ditiadakan, disingkirkan dari gelombang
suara bebas.
Dalil yang membuktikan, bahwa semakin banyak aduan
masyarakat. Kalau rakyat bergolak, berjuang sendiri, memperjuangkan nasib diri.
Pemerintah sudah siap stigma anti-Pancasila. Masuk ranah gerakan radikal,
separatis, teroris, dinasti politik dan komunitas oknum sipil pelaku kriminal bersenjata.
Posisi dan peran Pancasila, semula adalah dasar negara.
Berkat reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998, muncul 4 pilar MPR.
Tak layak diuraikan di sini. Ada pihak yang lebih berwajib dan lebih layak
membeberkannya. Minimal ada menteri spesialis Pancasila.
Daya rekat Pancasila ada di kehidupan sehari-hari rakyat.
Belum terpapar, tercemar, terkontaminasi kuman (partai) politik. Di lain pasal,
ternyata daya retak Pancasila menjadi hak milik penguasa, pejabat, penyelenggara
negara di semua tingkatan dan lini. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar