kolaborasi kepala(n)
genggam, kepala atas vs kepala bawah
Kiasan atau bukan, terserah daya tafsir pembaca. Téndénsius, ambisius ataupun ambiguitas,
namanya olahkata, tata kalimat. Sekali kalimat, dua tiga makna tersirat. Satu kata
kunci: kepala.
Sebutan kepala tentu beda dengan ketua. Sama-sama sebagai
pimpinan. Jabatan komandan terkait dengan pasal komando, aba-aba untuk
menyamabahasakan. Makna lema ‘ketua’ silahkan simak kamus yang dipunyai.
Acuan hidup adalah adanya jabatan formal kepala negara dan sampai kepala desa. Wilayah kuasa
secara batas administratif. NKRI dibagi habis sampai desa/kelurahan atau
sebutan lainnya. Artinya, di tingkat desa/kelurahan secara berjenjang mempunyai
banyak kepala.
Fungsi tumpuan, pondasi atau fungsi tempat penampungan
akhir penerima manfaat pembangunan nasional, pembangunan daerah. Masyarakatnya secara
hakikat termasuk pengertian masyarakat adat. Tidak bisa digeneralisir secara
sosial, politik. Negara diatur tatanan, desa memiliki cara.
Kemacetan lalu lintas dikarenakan arus mobil bukan bak
kereta api. Lokomotif bergerak maju, dipastikan gerbong akan ikut tertarik,
bergerak. Begitu lampu hijau menyala, ternyata mobil di urutan pertama tidak
langsung start. Tak sampai lima mobil liwat, lampu merah sudah menyala.
Jaga jarak aman menjadikan pengemudi santai. Soal dibelakang
ada yang mau menyalip, ingat HAM. Di jalur khusus tol untuk menyalip, kecepatan
sesuai selera. Cari aman. Soal taat aturan, utamakan selamat. Sama-sama tidak
gratis.
Secara biologis, jika kepala bawah ngadat, ngambek,
nglokro, letoy, lunglai atau kurang vitamin, kurang gizi dipastikan bikin
puyeng kepala atas. Kejadian di Nusantara bisa-bisa kepala bawah menyodok
kepala atas. Belum habis jam tayang maunya tampil di atas, sebagai kepala atas.
Jangan abaikan eksistensi, potensi kepala bawah. Bukan sekedar
tempat atau alat bersenang-senang. Justru kepala atas sibuk memikirkan segala
kesenangan, berjibaku dengan aneka nikmat dunia. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar