ketika olok-olok politik
menjadi senjata makan tuan
Salah satu adab margin bangsa Nusantara yang bersentuhan langsung dengan naluri
fauna, insting hewan adalah olok-olok. Daerah abu-abu ini penganutnya aneka SARA.
Makan bangku sekolah atau anak jalanan, akrab berbaur di medan virtual.
Efek domino revolusi mental yang mana dimana mental petugas partai cuma segitu-gitunya.
Modus loyalis, skenario pengusaha menjadi faktor penentu keterpilihan petahana.
Siapa pihak pengendali penguasa sudah benderang cemerlang. Siapa pihak yang
terikat politik balas budi, balas jasa sudah terdeteksi sejak dini.
Akar rumput yang masih beradab. Tata krama, sopan santun, tepo sliro,
unggah-ungguh menjadi menu harian. Diamnya rakyat karena sibuk fokus di jalan
lurus. Tak mau dikotori oleh berita sampah. Telinga dan mata terjaga dari
propaganda tukang jual obat pinggir jalan.
Mendapat rezeki senilai harga BBM yang termurah, bersyukur. Selama 24 jam,
hanya sekali isi perut dan tidak full tank. Pola dan gaya hidup memang tak jauh
kemana-mana. Emosi terkontrol sejak dari rumah. Merasa sesuai stigma uneducated
people, namum nilai kearifan dan
kecerdasan lokal menjadi modal utama.
Virus polok-olok politik bukannya tak berdampak. Awalnya tampak gagah,
pemberani. Siap neggasak siapa saja yang anti. Nyali diri di atas rata-rata
orang mabuk miras. Merasa otot kawat, tulang besi, lidah bercabang.
Résistensi atau ketahanan jaringan kekuatan antar rakyat, Belanda pun tak
mampu menerobosnya. Penjajah bangsa sendiri menciptakan olok-olok politik
memanfaatkan jasa TIK. Semakin gencar, ibarat membongkar batu demi batu yang
menyusun pondasi penguasa. Di atas tanah, pertahanan tampak digdaya. Berdaya pukul
ampuh bin manjur. Sekali gebuk, tiga lalat melayangkan nyawanya dengan sia-sia.
Jelang akhir tahun politik 2018, keropos, lapuk dalam di koalisi
pro-pemerintah nyaris merata. Solidaritas semu masih tampak menggiurkan. Jelang
sakratulmaut, lengking semakin nyaring. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar