sebutan negarawan dari
kamar sebelah, bukan dari pendérék
Wajar dan tak perlu diperdebatkan, jika Nusantara sedang,
masih, selalu, akan, tetap krisis negarawan, paceklik pancasilais. Bukan
pesimis utawa apriori. Kriteria kian rumit. Antri yang mau daftar. Tergantung
berjubelnya manusia politik.
Periode 2014-2019. Utamakan uber nikmat dunia.
Memangnya patèken kalau tak jadi pancasilais, negarawan. Usahakan satu periode
bisa untuk bekal, modal anak cucu. Mafia bola melanda PSSI, pengaturan skore. Mafia
kursi, serahkan ke ahlinya.
Ingat PSSI sebagai timnas yang diperhitungkan
lawan. Timnas asing jarang yang mau tanding tandang ke bumi Ibu Pertiwi. Bukan takut
menghadapi timnas RI. Ngeri ke penonton yang merangkap pendukung setia. Siap,
siaga, sigap berulah apa saja. Bukan gambaran pola penggemar politik. Tak beda
jauh. Beda klas, sulit ditandingkan.
Kita bercermin, kilas balik pada prinsip “pemenang mengambil semua” (the winner takes all). Tak bosan saya
menulis lagi bahwa praktik demokrasi, menjadikan kedaulatan ada di tangan
pemenang pemilu. Nyaris tak ada yang tersisa. Filsosofinya, untuk hari ini
saja. Atau besok, pagi hari saja. Mana sempat lihat dan fokus menembus batas
periode.
Tamsil predikat yang dituangkan ke PSSI (pengurus,
pemain, penonton) sebagai contoh sederhana. Tentu ada ungkapan, ujaran yang
datang dari internal. Hujan – bukan hujan gol – tidak merata. Representasi dari
mafia kursi di internal partai. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar