Halaman

Minggu, 23 Desember 2018

sebutan negarawan dari kamar sebelah, bukan dari pendérék


sebutan negarawan dari kamar sebelah, bukan dari pendérék

Wajar dan tak perlu diperdebatkan, jika Nusantara sedang, masih, selalu, akan, tetap krisis negarawan, paceklik pancasilais. Bukan pesimis utawa apriori. Kriteria kian rumit. Antri yang mau daftar. Tergantung berjubelnya manusia politik.

Periode 2014-2019. Utamakan uber nikmat dunia. Memangnya patèken kalau tak jadi pancasilais, negarawan. Usahakan satu periode bisa untuk bekal, modal anak cucu. Mafia bola melanda PSSI, pengaturan skore. Mafia kursi, serahkan ke ahlinya.

Ingat PSSI sebagai timnas yang diperhitungkan lawan. Timnas asing jarang yang mau tanding tandang ke bumi Ibu Pertiwi. Bukan takut menghadapi timnas RI. Ngeri ke penonton yang merangkap pendukung setia. Siap, siaga, sigap berulah apa saja. Bukan gambaran pola penggemar politik. Tak beda jauh. Beda klas, sulit ditandingkan.

Kita bercermin, kilas balik pada  prinsip “pemenang mengambil semua” (the winner takes all). Tak bosan saya menulis lagi bahwa praktik demokrasi, menjadikan kedaulatan ada di tangan pemenang pemilu. Nyaris tak ada yang tersisa. Filsosofinya, untuk hari ini saja. Atau besok, pagi hari saja. Mana sempat lihat dan fokus menembus batas periode.

Tamsil predikat yang dituangkan ke PSSI (pengurus, pemain, penonton) sebagai contoh sederhana. Tentu ada ungkapan, ujaran yang datang dari internal. Hujan – bukan hujan gol – tidak merata. Representasi dari mafia kursi di internal partai. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar