gaya dan daya mandiri
generasi enoji
Urutan anak kandung. Sebutan anak sulung sampai
anak bontot. Spesifikasi karakter menjadi jati diri tiap urutan, termasuk anak
kembar. Makna potensi karakter, watak bahkan reliji.
Keunggulan anak dikarenakan sebagai hasil
sinerjitas latar belakang ayah ibunya. Orang tua memerankan lakonnya, tak akan
lepas dari pengalaman hidupnya. Spesifikasi khusus pada urutan anak, lebih terasa
dan nyata pada jumlah dan jarak kelahiran.
Sistem pendidikan nasional dengan kemasan PAUD. Menjadikan
anak serba tahu cepat atau ekses, dampak, efek sebaliknya. Ikut arus zaman
hanya di langkah awal. Daya tarik yang di depan mata. Masa depan, bahkan esok
hari bukan hak kita. Kewajiban umat adalah membeli masa depan dengan harga
sekarang.
Menyiapkan masa depan anak dengan harga masa depan.
Dikelola sesuai zamannya. Klasiknya pengaruh lingkungan tak terelakkan. Pengguna
aktif produk teknologi informasi dan komunikasi. Efek dominonya menjalar kian
kemari. Anak merasa menjadi bagian penting dari sistem yang besar. Sekaligus tak
tahu akan posisi dirinya.
Bersyukur, masih ada korelasi dinamis antara urutan
anak dengan gaya hidupnya. Daya mandiri tiap anak terasah oleh dinamika keluarga.
Sejak dini anak dilatih mengenal dan mengurus dirinya. Sifat ketergantungan
untuk sama-sama sukses.
Zonasi lingkungan teracak oleh kebijakan yang
terkait dengan peta politik. Asumsi sejarah menunjukkan ada daerah yang
tradisional menjadi lumbung suara suatu partai politik. Tidak demikian halnya
pada daerah yang mandiri. Sudah didapat. Jiwa otonomi daerah memabukkan
putra-putri asli daerah.
Klimaks mabuk politik, terjadi seukses di periode
2014-2019. Tak perlu jadi ketua umum partai politik. Tak perlu kendaraan
politik bak tersiden kedua RI. Atau mendirikan partai politik sebagai
perpanjangan tangan manusia ekonomi. Sama-sama cari nikmat dunia.
Tepatnya. Ketika jabatan presiden Nusantara hanya
sebatas djulukan sebagai petugas partai. Penistaan ini aman-aman secara
konstitusional. Modal nama besar leluhurnya, tanpa keringat menjadi modal
pribumi untuk sukses dunia. Wajar. Orang tua bekerja untuk anaknya.
Gamblang dan benderang di siang bolong. Generasi pemilih
pemula di era reformasi, mendapat acuan gratis. Dianggap baik dan benar serta
mujarab. Aman dan nyaman di bawah bayang-bayang, ketiak orang lain. Bangsa lain
kalau perlu, bilamana butuh. Terbukti ampuh.
Tak perlu jadi “anak sulung”. Jadi “anak bungsu”
utawa pengekor, pengikut, pendérék namun jabatan atau rezeki dunia melebihi “anak
sulung”.
Alih-alih menjadi nomer satu. Memilih pasangan
nomer satu, menjadi alergi. Sejarah kelam kelabu yang terekam jangan terulang. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar