orangnya begitu, makanya begitu
Jabatan marbot memang tak bergengsi di mata
masyarakat. Jamaah pun tak kurang yang memandang dengan mata kanan atau mata
kiri saja. Kenyamanan jamaah diukur dengan saat datang, masjid siap “melayani”.
Minimal, datang untuk sholat tanpa hambatan. Misal, soal parkir kendaraan,
parkir alas kaki, tempat wudhu. Terutama parkir pantat. Nyaman duduk di masjid,
alas empuk hawa sejuk. Sholat tambah khusyuk.
Sholat 5 waktu, jarang yang bersegera sampai di masjid
sebelum panggilan. Mengisi shat depan, bukan pilih lokasi strategis. Interaksi
sosial dengan menggerombol. Tahu-tahu iqomah tuntas. Qomat lanjut sholat. Bergegas
angkat kaki usai imam ucap salam kedua, sambil toleh ke kiri. Soal panggilan
Illahi. Lihat nanti jika ada waktu luang.
Uraian jabatan marbot terkait ibadah dan hubungan
antar manusia. Susah diformalkan, sulit dibakukan. Lebih dari sekedar pengabdian.
Antar marbot bersinerji. Saling mendukung dan mengisi. 24 jam menjaga rumah
Allah. Di pihak marbot, wajar jika ingin hidup layak. Prospektus niat tulus
ikut mensejahterakan masjid dan menjaga syiar agama Islam.
Posisi sentral dan strategis marbot. Menjadi sumber
informasi bagi tamu atau jamaah. Menjadi “pengamat” tindak tanduk, tingkah
laku, tabiat jamaah. Anak yang belum wajib sholat pun, ikut menghidupkan
suasana masjid. Gantian jaga saat sholat berjamaah.
Peringatan imam agar shaf depan diisi, sesuai
sahnya sholat. Karena rutin diucap menjadi tak manjur.
Karena faktor U, kondisi fisik atau faktor lain,
terapi. Ada jamaah yang sholatnya duduk. Di sajadah atau di bangku. Fasilitas masjid
termasuk menyediakan bangku, kursi dimaksud.
Judul kian jelas dan benderang. Terkisahkan marbot itu, usianya memang sudah tua. Jauh lebih
tua dari saya. Bahkan lebih tua dari Proklamasi 17 Agustus 1945. Rekam jejak
sebagai marbot tak menggugah perhatian Yayasan dan atau DKM. Urusan dunia lebih
menarik minat non-marbot.
Pengalaman marbot tua. Ketika ada jamaah pemakai
bangku saat sholat berjamaah. Tampilan lusuh. Pakai hem tanpa kaos oblong atau
singlet. Dikancingkan tak sampai atas. Wajar jika duduk di paling pinggir. Masalah
muncul jika ybs agak mundur, meliawati batas tumit. Mengganggu jamaah
dibelakangnya saat sujud.
Ketika ybs diingatkan marbot tua. Ybs langsung
unjuk muka tak suka. Suara lantang. Bukannya jadi ingat dan sadar. Merasa direndahkan
oleh teguran marbot. Jamaah ambil sikap diam. Bukannya acuh. Lokasi masjid di
kawasan perumahan. Tampak homogen pendatang yang puluhan tahun. Dimakan waktu,
watak ciri kota mulai berbicara.
Mengakhiri cerita, marbot tua cuma geleng kepala
sedih. Lirih ucap sesuai judul. Kata, lema ‘begitu’ memang multitafsir. Menyamarkan
kejadian atau fakta yang nyata. Kalau diungkap malah menambah dosa si pembicara
maupun si pendengar. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar