Halaman

Sabtu, 26 September 2020

sajadah dua jengkal

sajadah dua jengkal

Membawakan, memposisikan, menempatkan diri selaku jamaah masjid lingkungan. Walau tak masuk bilangan jamaah  lima waktu. Setiap langkah bisa mencuri start dan perhatian publik. Busana jauh kesan dari ahli masjid. Mendekap sajadah yang tak menambah atribut pengunjung rumah Allah swt di muka bumi.

Langkah cepat dengan wajah fokus ke depan bawah. Jaga, atur sengaja aktif bernafas normatif pakai masker kesehatan antisipasi serapan covid-19. Jalan berangkat dan jalan pulang bisa beda rute. Hindari asap knalpot, terutama saat subuh. Berlawanan arah lalu lintas jalan lingkungan kompleks.

Mulai parkir alas kaki, sudah terasa tantangan cerdas diri. Pasal kemudahan saat pulang bersamaan. Parkir motor mepet parkir sandal, bahkan membelakangi masjid. Perterasaan lain, usai bangkit jamaah pada umumnya salan santai, terendat. Menenteng berat sajadah.

Selaku penggemar saf terdepan, nyaris mendapat lokasi itu-itu saja. Sajadah jamaah seolah simbol status. Pernah ke tanah suci. Ukuran pribadi tanpa bisa ada yang menebeng. Panjang melebihi lebar sajadah panjang masjid yang sedang parkir digulung. Jamaah wajib bawa sajadah pribadi. Beda bahan dan ketebalan. Motif sama, sekitar gambar kabah atau kubah masjid. Warna coklat mewakili tanah atau warna islami, hijau.

Cara meletakkan sekaligus menggelar sajadah bukannya atraktif. Boyok susah diajak bongkok karena usia. Akhirnya, seperti main lempar asal taruh. Suara atau hempasan angin pratanda ada jamaah ada. Main kaki merapikan posisi sesuai peruntukkan dan batas aman. Usai takhiyatul masjid ada yang langsung sibuk cek status.

Terasa tapi tak terbawa perasaan. Ternyata ukuran sajadah saya yang minimalis, serasa egois.[HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar