diamnya rakyat karena diam lebih bermakna
Memang begitulah kondisi dan faktanya. Beda pasal dengan warga penghuni kompleks, sebelum dikenal istilah klaster. Tepatnya, saat maraknya perumahan KPR-BTN. Selaku pendatang baru, seolah mendesak eksistensi penduduk asli. Alih fungsi sawah irigasi alami menjadi munculnya beberapa RW. Dampak positif tak masuk kalkulasi politik lokal, status kabupaten alih ke status kota.
Dukungan jalan kolektor, jalan lokal atau jalan kecamatan menambah nilai tambah kawasan kota dadakan. Singkat kata, setelah >35 tahun terjadi alih generasi. Sisi negatifnya, belum terjadi alih generasi peduli lingkungan kelas lokal RT.
Ikatan religi menegakkan syiar Islam terasa. Terbangunnya masjid utama kompleks perumahan. Jamaah subuh warga tak kalahmeriah dengan suasana masjid penduduk asli. Jasa pengeras suara ikut andil. Berita duka mendominasi sosialisasi dan penerangan.
Penyedia jasa tambal ban plus kelengkapan, perlindungan tak tergusur oleh teknologi otomotif maupun kecerdasan buatan. Lazim, kemanfaatan gadget berbasis TIK. Memacu memicu melek informasi manusia tanggung. Sebutan rakyat tak lagi menyuratkan menyiratkan stratifikasi, lapisan, klas secara geografis. Bergusur menjadi adab membawakan diri, selaku manusia unggul.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar