negara pancasila vs prostitusi dalam
jaringan
Menyimak “indikator penyelenggaraan
kabupaten/kota sehat”, tatanan 9: kehidupan sosial yang sehat, 2017. Tampilan tabel.
Tatanan, indokator khusus, kehidupan sosial yang sehat. Total ada 17 item.
Berbasis no 4:
Menurunnya jumlah tuna susila:
a.
Menurun
b.
sama dengan tahun sebelumnya
c.
Meningkat ....%
Pemaknaan lepas dari angka pada ‘score’
dan memang tidak disajikan. Format disusun 2017, padahal sudah ada praktik on-line
alias dalam jaringan. Semakin tenar, familiar, berkelas ada embel-embel ongkir
gratis.
Justru kebalikan dari sebutan media
massa mainstream, menjadi andalan generasi penyuka gawai. Mulai dari
generasi napak tanah sampai generasi bau tanah. Keberanian berujar bahasa tulis
kian atraktif berkat masker anti pandemi agresi covid-19.
Nyaris lupa dengan idiom ‘tuna
susila’. Seolah berlaku pada semua gender. Sah-sah saja karena sejalan dengan
aksi nyata LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Jalan bareng di
panggung politik nusantara.
Berkat negara multipartai,
multibencana maka oleh karena itu sebutan pelacur politik – dalam jaringan atau
luar jaringan – menjadi konstitusional, legal dan tidak dapat
dikriminalisasikan apalagi dipidanakan. Rawan politik memang tak terukur. Yang
resmi adalah konflik sosial. Sertifikasi pelacur politik.
Wong cilik sing mujur ngalor, akan
ditiadakan dari muka bumi secara sistematis.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar