Halaman

Minggu, 27 September 2020

nalika wong Jawa ilang isi lan isinné

nalika wong Jawa ilang isi lan isinné

Hanya sebegitukah kesimpulan yang dapat disimpulkan. Rasanya seperti kurang gaul. Padahal, lebih banyak fakta, kejadian perkara, duduk perkara, kasus, atau pasal maupun norma yang terusik. Terlambat akil balik atau sebaliknya, cepat matang, masak, ranum sebelum waktunya. Lingkungan strategis kebangsaan kian melajukan wong Jawa bangga dengan puja-puji.

 Generasi pemlih pemula sudah mulai rindu dan merindukan tatanan, adab bermasyarakat sarat rasa santun. Inggih-inggih mboten kepanggih, ungkapan berbahasa Jawa krama inggil. Menunjukkan kesetiaan atau kesiapan ketika ditanya kesanggupan. Soal bisa atau tak bisa, urusan belakang. Soal tahu atau tak tahu, jawabannya sama atau disamarkan. Bukan diplomatis apalagi pakai bahasa politik.

 Matinya bahasa Jawa ‘ha na caraka’, ketika dipangku. Simbol bahasa sebagai simbol atau karakter wong Jawa. Dipangku ibu Pertiwi, langsung lupa daratan, lalai lautan, lali jiwa. Disuapi dengan asupan nikmat dunia semakin setia sampai tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh tikungan. Semakin dapat kelinggihan tanpa keringat sendiri, semakin loyal, taat, patut, setia total jenderal.[HaéN]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar