politik balik adab nusantara, alergi
pancasila sebut negara pancasila
Wolak-waliking zaman. Wis edan tenan nganti pitung turunan, tetep ora
keduman. Partai politik ala abangan semakin menjadi-jadi dan menjadikan politik
sebagai panglima, politik selaku agama dunia. Motivasi, minat, modus asal
tampak konstitusional menjadi halal, legal. Preman jalanan menentukan langkah dan
nasib politik negara.
Frasa “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”
(comotan dari Pasal 28E UUD NRI 1945), membuat anak cucu komunis dengan segala
bentuk ideologinya, merasa gerah, gamang. Maunya apa kata yang meluncur dari
moncong oknum ketua umum sebuah bentukan partai politik, menjadi pedoman.
Pemahaman diri wong Jawa, watak itu tidak dapat diubah. Sebagai gawan
bayen. Dari sono-nya. Merekayasa watak manusia berarti memanipulasi bentuk dan
struktur genetis manusia. Wong Jawa acap menyebut faktor genetis ini dengan
bibit. Bibit inilah yang secara genetis
menurunkan watak manusia. Hasil kombinasi watak kedua orang tuanya. Atau watak
berulang, sifat menurun silang atau lintas generasi dari kakek-neneknya.
Falsafah, filosofi, filasafat yang mendasari globalisasi maupun lintas
negara tanpa batas, adalah asimilasionisme. Konsep dasar ini melegalkan yang
kuat akan mendominasi yang lemah. Pas dengan bunyi tak terulis hukum rimba
belantara politik nusantara.
Aspek kehidupan berbangsa dan bernegara nusantara menjadi subordinasi partai
komunis dunia yang berpusat di negara Tiongkok atau sebutan lainnya.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar