Halaman

Rabu, 09 September 2020

politik balik adab nusantara, alergi pancasila sebut negara pancasila


politik balik adab nusantara, alergi pancasila sebut negara pancasila

Wolak-waliking zaman. Wis edan tenan nganti pitung turunan, tetep ora keduman. Partai politik ala abangan semakin menjadi-jadi dan menjadikan politik sebagai panglima, politik selaku agama dunia. Motivasi, minat, modus asal tampak konstitusional menjadi halal, legal. Preman jalanan menentukan langkah dan nasib politik negara.

Frasa “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (comotan dari Pasal 28E UUD NRI 1945), membuat anak cucu komunis dengan segala bentuk ideologinya, merasa gerah, gamang. Maunya apa kata yang meluncur dari moncong oknum ketua umum sebuah bentukan partai politik, menjadi pedoman.

Pemahaman diri wong Jawa, watak itu tidak dapat diubah. Sebagai gawan bayen. Dari sono-nya. Merekayasa watak manusia berarti memanipulasi bentuk dan struktur genetis manusia. Wong Jawa acap menyebut faktor genetis ini dengan bibit.  Bibit inilah yang secara genetis menurunkan watak manusia. Hasil kombinasi watak kedua orang tuanya. Atau watak berulang, sifat menurun silang atau lintas generasi dari kakek-neneknya.

Falsafah, filosofi, filasafat yang mendasari globalisasi maupun lintas negara tanpa batas, adalah asimilasionisme. Konsep dasar ini melegalkan yang kuat akan mendominasi yang lemah. Pas dengan bunyi tak terulis hukum rimba belantara politik nusantara.

Aspek kehidupan berbangsa dan bernegara nusantara menjadi subordinasi partai komunis dunia yang berpusat di negara Tiongkok atau sebutan lainnya.[HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar