daya cerna penguasa memahami kebenaran alam
Agar laku ini benar, maka manusia wajib punya lambaran ilmu. Pandai saja masih kurang, belum ada apa-apanya. Modal ilmu alam, ilmu pengetahuan alam hingga sampai pada peng-alam-an pribadi. Lihat betapa punggawa partai politik, sudah sugih tenan dari sono-nya. Begitu jadi menteri non-profit atau sosial, langsung bancakan Rp, kecèh Rp, adus Rp.
Strata nasional. Bagaimana respon alam, reaksi alam dianggap selaku pasal alamiah. Proses alamiah macam siklus hidrologi. Semua diklaim serba kebetulan. Siklus hidup manusia 24 jam. Semua terima jadi. Apa adanya, ada apanya. Tidak perlu diperdebatkan. Kecuali menyangkut martabat pantat penguasa. Pasal karhutla bukan bencana alam. Hanya akibat kesalahan administrasi, salah prosedur. Tak ada kaitan yuridis, ikatan moral dengan ramah investor. Bencana alam lokal, skala dapil, menjadi bukti pengorbanan.
Setiap orang suka mendapat kebaikan, menerima kebaikan hati orang lain. Nyaman dengan ramahnya alam. Namun tak setiap manusia gemar berbuat baik. Apalagi hobi melestarikan alam. Merasa alam, tanah-air wajib mengayomi penghuni bumi. Sistem peringatan dini, yang tercanggihpun, sulit mendeteksi bencana alam. Padahal, binatang dan tanaman mampu membaca bahasa dan pratanda alam. Kehidupan manusia seolah kian jauh dengan sentuhan alam. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar