aku mengko dadi apa mbok? ooo, kowé kepéngin dadi menko
Bukan petilan wayang politik “Limbuk dadi ratu”. Pemirsa lebih paham dan senyum saja. Karena tahu ada yang lebih norak. Padahal ki Petruk plompang-plompong kantong kothong tahu “dadia wong wadon sing kajèn”. Adegan babak pertama berjalan lancar, aman, terkendali. Semua punggawa tahan diri. Ngemong wong sing lagi kédanan.
Babak senja, serap, surup ybs semangkin kesurupan. Ideologi serapan asing kian pantat tidak betah duduk di kursi panas. Padahal sudah lewat menko-menko yèn éling. Kanggo negoro kok coba-coba. Lihainya ki dalang Sobopawon memainkan wayang kulit. Mencuplik kisah kasihan terkini, belum sempat tayang di media sosial bebas ongkir.
Agar sesusai bayaran. Pihakan terentu dengan maksud terselubung. Maka daripada itu wayang kulit dimaksud bukannya dilarung. Buang sial bangsa. Namanya politik, malah dibuat tampak depan, tampang muka. Sanggul, gelungan, kondhé untuk membedakan ybs dengan oknum Sangkuning yang juga gemar mèjèng. Abaikan pageblug. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar