anomali kaum Hawa, pemulung kardus vs nyapres kursi
Kegiatan ekonomi skala rumah tangga, berkemandirian, berkepribadian. Garwo mengelola usaha swakelola marketplace. Pelantar barang dan atau jasa, dari sumber primer, tangan pertama hingga sampai pada konsumen, penerima manfaat, pengguna akhir. Pembeli lebih suka beli makanan dan atau minuman. Harga di bawah toko, gerai swalayan. Risiko pada garwo, harus beli partai sedang, tidak bisa eceran, satuan dan harus kontan.
Mau tak mau, tangan sigap tanggap jika gawai beri sinyal positip. Modal membidani e-proc zaman Departemen PU. Jaringan antar pihak sama-sama berkepentingan secara sosial-ekonomi. Saling berbagi. Prinsip untung tidak seberapa, tapi terasa. Rata-rata di atas uang pensiun bulanan. Modal kaki antar skala RW. Sekaligus ke beberapa rumah.
Pagi itu, lintas RW, masih satu kompleks. Pemesan maunya dikirim sekarang. Tidak masalah. Jalan sehat menenteng pesanan. Ditengarai, si pemesan bukan suka ngobrol. Malah punya apriori, yang antar barang biasanya petugas, pesuruh. Untung sudah bayar online. Bebas ongkir. Siap dimarahi.
Saya masih sibuk bersih lingkungan, di depan rumah. Ada saja yang bisa dikerjakan sambil jemur gigi. Dari arah timur, tampak garwo jalan pulang. Pasti tahu jalan. Di belakang, sama-sama berjilbab, tampak seseorang memanggul karung. Kukira membawakan barang pesanan. Ternyata, nyatanya pemulung. Kata garwo, ybs tahu di teras rumah ada tumpukan kardus. Bekas packing buah, dll. Mata pemulung harus jeli lihat peluang. Kendati kondisi bangsa sedang prihatin hadapi agresi pandemi covid-19.
Karung pemulung sarat kardus dipipihkan. Tanpa tedeng aling-aling, tanya garwo sudah masak. Ketik dijawab belum dan ditanya kenapa. Ternyata belum sarapan, mau minta jatah. Garwo sedekahkan sekian Rp untuk sarapan versi warteg. Ini bagian kecil dari dalil sosial-ekonomi berkebalikan. Beda dengan laku pemulung kursi capres 2024 atau malah menjadi inspirasi politik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar