rasanya tidak
mungkin ada yang menjelek-jelekkan Anda, karena . . .
Kisah di lingkungan
tempat tinggal. Iseng ajak bicang tukang jaga lapangan RT. Sesuai job,
sampah dibersihkan. Dikumpulkan dan dibakar. Saya sarankan agar gali lubang
untuik tempat sampah organis.
Bincang masih proses,
liwatlah seorang warga yang lahir sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus
1945. Beliau, jalan santai. Usai beli 4 buku semacam TTS. Asak otak, katanya. Padahal
yang dilihat sampul depannya. Bukan alam pemandangan. Lawan jenis yang seusia
cucunya. Namanya lelaki.
Posisikan telinga
sebagai pendengar yang setia atas ocehannya. Warga sudah hafal akan apa saja
ocehannya. Habis Side A lanjut ke Side B. Belum selesai Side B, karena ada
komen yang tadi. Langsung balik ke Side A.
Kata warga, hanya saya
yang betah “diskusi, dialog, debat” dengan itu orang yang memang sebagai
sesepuh.
Istiraht sejenak. Truck sampah
liwat. Titip 2 (dua) bungkus plastik kresek isi sampah got.
Ide menulis jadi kacau beliau.
Langsung saja ke si
pengoceh. Dengan emosi dan tangan beraksi main tunjuk, “saya paling tidak suka
kalau orang menjelek-jelekkan saya”. Tanpa rincian, apalagi apanya yang
dijelek-jeekkan.
Agar ocehannya tidak
melantur, saya jawab dengan agak teriak, “Mana mungkin. Kan sudah jelek . . . .
“. Pokoknya sesuai judul atau yang menjadi sumber inspirasi tatakalimat ini.
Karena pikun lingkungan,
tukang oceh tidak bereaksi. Orang yang liwat, menoleh. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar