Halaman

Selasa, 01 Mei 2018

rasanya tidak mungkin ada yang menjelek-jelekkan Anda, karena . . .


rasanya tidak mungkin ada yang menjelek-jelekkan Anda, karena . . .

Kisah di lingkungan tempat tinggal. Iseng ajak bicang tukang jaga lapangan RT. Sesuai job, sampah dibersihkan. Dikumpulkan dan dibakar. Saya sarankan agar gali lubang untuik tempat sampah organis.

Bincang masih proses, liwatlah seorang warga yang lahir sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Beliau, jalan santai. Usai beli 4 buku semacam TTS. Asak otak, katanya. Padahal yang dilihat sampul depannya. Bukan alam pemandangan. Lawan jenis yang seusia cucunya. Namanya lelaki.

Posisikan telinga sebagai pendengar yang setia atas ocehannya. Warga sudah hafal akan apa saja ocehannya. Habis Side A lanjut ke Side B. Belum selesai Side B, karena ada komen yang tadi. Langsung balik ke Side A.

Kata warga, hanya saya yang betah “diskusi, dialog, debat” dengan itu orang yang memang sebagai sesepuh.

Istiraht sejenak. Truck sampah liwat. Titip 2 (dua) bungkus plastik kresek isi sampah got.

Ide menulis jadi kacau beliau.

Langsung saja ke si pengoceh. Dengan emosi dan tangan beraksi main tunjuk, “saya paling tidak suka kalau orang menjelek-jelekkan saya”. Tanpa rincian, apalagi apanya yang dijelek-jeekkan.

Agar ocehannya tidak melantur, saya jawab dengan agak teriak, “Mana mungkin. Kan sudah jelek . . . . “. Pokoknya sesuai judul atau yang menjadi sumber inspirasi tatakalimat ini.

Karena pikun lingkungan, tukang oceh tidak bereaksi. Orang yang liwat, menoleh. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar