Halaman

Minggu, 27 Mei 2018

diléma cikal bakal presiden ke-8 NKRI, digadang vs dihadang


diléma cikal bakal presiden ke-8 NKRI, digadang vs dihadang

Sedemikan gagah perkasa anak bangsa pribum,i mulai dari pojok kota sampai ujung desa, ketika menghadapi lawan politik. Siap tumpahkan darah, siaga lecehkan martabat diri demi menjaga wibawa junjungannya. Tak kenal rasa takut melebihi saat usir penjajah.

Waktu, energi dan emosi dihabiskan percuma dan sia-sia hanya  untuk memantau ujaran tertulis pihak lawan yang menginginkan perubahan kepemimpinan nasional. “Setan gèpèng” tak lepas dari genggaman.

Paket citra, pesona, wibawa penguasa sebegitu steril, suci hama. Jangan sampai ada pihak yang menggugatnya. Mendekati saja sudah masuk pasal melakukan perbuatan tidak menyenangkan dengan sengaja dan direncanakan.

Ibarat ibu rumah tangga, profesi kodrati. Karena jam terbang akhirnya jadi ahli dapur.

Ironis binti miris. Pada jam sibuk, menyempatkan diri blusukan ke tetangga. Hanya menyiarkan, membeberkan fakta menu hari ini. Tanpa diminta cerita dengan bangga betapa berjasanya bagi pemehuhan urusan perut keluarga. Cerita beraroma irama serba bumbu.

Promo kinerja sebagai ahli dapur, semakin terasa bumbunya karena memakai garam impor, bawang putih selundupan dari pihak asing. Tak kalah pedasnya ujaran garang garing sang loyalis, karena memaki cabai lokal kemasan impor.

Wajar dalam dunia pewayangan, yang namanya bolo dupak, begundal, ceceré tindak tanduknya memang pecicilan. Pasang badan. Siap pertama kali mengamankan diri, jika hasil dan kenyataannya tidak sesuai rencana, harapan. belum meminang sudah menimang.

Hebatnya lagi, jari tangan kanan siap melibas jari tangan kiri, jika beda pendapat. Atau tak mau diatur. Maunya jalan sendiri tanpa kendali, koordinasi, komunikasi. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar