diléma cikal bakal presiden ke-8 NKRI, digadang vs dihadang
Sedemikan
gagah perkasa anak bangsa pribum,i mulai dari pojok kota sampai ujung desa,
ketika menghadapi lawan politik. Siap tumpahkan darah, siaga lecehkan martabat
diri demi menjaga wibawa junjungannya. Tak kenal rasa takut melebihi saat usir
penjajah.
Waktu,
energi dan emosi dihabiskan percuma dan sia-sia hanya untuk memantau ujaran tertulis pihak lawan
yang menginginkan perubahan kepemimpinan nasional. “Setan gèpèng” tak lepas
dari genggaman.
Paket citra,
pesona, wibawa penguasa sebegitu steril, suci hama. Jangan sampai ada pihak
yang menggugatnya. Mendekati saja sudah masuk pasal melakukan perbuatan tidak
menyenangkan dengan sengaja dan direncanakan.
Ibarat
ibu rumah tangga, profesi kodrati. Karena jam terbang akhirnya jadi ahli dapur.
Ironis
binti miris. Pada jam sibuk, menyempatkan diri blusukan ke tetangga. Hanya menyiarkan,
membeberkan fakta menu hari ini. Tanpa diminta cerita dengan bangga betapa
berjasanya bagi pemehuhan urusan perut keluarga. Cerita beraroma irama serba
bumbu.
Promo kinerja
sebagai ahli dapur, semakin terasa bumbunya karena memakai garam impor, bawang
putih selundupan dari pihak asing. Tak kalah pedasnya ujaran garang garing sang
loyalis, karena memaki cabai lokal kemasan impor.
Wajar dalam
dunia pewayangan, yang namanya bolo dupak, begundal, ceceré tindak tanduknya memang
pecicilan. Pasang badan. Siap pertama kali mengamankan diri, jika hasil dan
kenyataannya tidak sesuai rencana, harapan. belum meminang sudah menimang.
Hebatnya
lagi, jari tangan kanan siap melibas jari tangan kiri, jika beda pendapat. Atau
tak mau diatur. Maunya jalan sendiri tanpa kendali, koordinasi, komunikasi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar