overdosis imajinasi politik vs minim
asupan ideologi Pancasila
Jujur saja. Ketika kita belajar
Pancasila, hanya agar lulus. Sebagai syarat administrasi, penyaringan substansi
masuk dunia kerja. Menjadi pegawai pemerintah, liwat saringan kadar pengetahuan
kepancasilaan.
Tingkatan lebih pancasilais, sebagai
bahan disertasi atau bedah Pancasila dari aspek tertentu.
Pancasila Sakti, memang telah teruji
selama zaman Orde Baru. Dirawat dan diruwat selama 6 (enam) periode
kepemimpinan tunggal, Bapak Pembangunan.
Pasca reformasi yang dimulai dari
puncaknya, 21 Mei 1998. Lengser keprabon presiden kedua RI. Kran demokrasi
mengucur deras. Membangkitkan alam bawah sadar politik.
Bertebaranlah sosok manusia pancasilais
komplit dengan atribut partai politik aneka warna. Mereka terduga lebih
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Artinya, dengan menguasai bangsa
dan negara, maka sesuai janji dan atau sumpah jabatan akan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Demi kemakmuran rakyat, mereka yakin
bahwa jika ingin kaya jangan masuk partai politik. Soal adanya oknum anggota
parpol yang masuk kategori ‘makmur dan sejahtera’, sudah dari sono-nya,
bawaan sejak sebelum lahir.
Sampai kapan kita belajar Pancasila?
Kapan praktiknya. Praktik bersama, membuka cabang usaha sampai pojok, pelosok
Nusantara. Sampai tepi laut. Dengan sistem online.
Kita tidak mungkin membuat check
list kegiatan harian pengamalan Pancasila. Bukan berarti pelaksanaan
Pancasila menjadi tanggung jawab pemerintah, negara melalu lembaga setingkat menteri.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar