Halaman

Selasa, 15 Mei 2018

overdosis imajinasi politik vs minim asupan ideologi Pancasila


overdosis imajinasi politik vs minim asupan ideologi Pancasila

Jujur saja. Ketika kita belajar Pancasila, hanya agar lulus. Sebagai syarat administrasi, penyaringan substansi masuk dunia kerja. Menjadi pegawai pemerintah, liwat saringan kadar pengetahuan kepancasilaan.

Tingkatan lebih pancasilais, sebagai bahan disertasi atau bedah Pancasila dari aspek tertentu.

Pancasila Sakti, memang telah teruji selama zaman Orde Baru. Dirawat dan diruwat selama 6 (enam) periode kepemimpinan tunggal, Bapak Pembangunan.

Pasca reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998. Lengser keprabon presiden kedua RI. Kran demokrasi mengucur deras. Membangkitkan alam bawah sadar politik.

Bertebaranlah sosok manusia pancasilais komplit dengan atribut partai politik aneka warna. Mereka terduga lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Artinya, dengan menguasai bangsa dan negara, maka sesuai janji dan atau sumpah jabatan akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Demi kemakmuran rakyat, mereka yakin bahwa jika ingin kaya jangan masuk partai politik. Soal adanya oknum anggota parpol yang masuk kategori ‘makmur dan sejahtera’, sudah dari sono-nya, bawaan sejak sebelum lahir.

Sampai kapan kita belajar Pancasila? Kapan praktiknya. Praktik bersama, membuka cabang usaha sampai pojok, pelosok Nusantara. Sampai tepi laut. Dengan sistem online.

Kita tidak mungkin membuat check list kegiatan harian pengamalan Pancasila. Bukan berarti pelaksanaan Pancasila menjadi tanggung jawab pemerintah, negara melalu lembaga setingkat menteri. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar